TIONGKOK – Perseteruan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali menunjukkan dampak serius terhadap rantai pasok global, kali ini menimpa sektor industri plastik Tiongkok. Meski selama ini Tiongkok dianggap lebih rentan dalam perang tarif karena ketergantungan ekspor ke AS, situasi terbaru memperlihatkan bahwa ketegangan geopolitik juga dapat menghantam sisi pasokan bahan baku secara signifikan.
Menurut laporan Singapore Business Times, pabrik-pabrik plastik di berbagai wilayah Tiongkok tengah menghadapi risiko penghentian operasional. Hal ini disebabkan oleh langkanya pasokan bahan baku utama berupa etana—komponen penting dalam produksi plastik—yang selama ini mayoritas dipasok oleh Amerika Serikat.
“Situasinya genting bagi pabrik pemecah etana di Tiongkok karena mereka tidak memiliki alternatif pasokan selain dari AS,” ujar Manish Sejwal, analis dari Rystad Energy. “Kecuali mereka mendapatkan pengecualian tarif, mereka kemungkinan besar harus menghentikan produksi atau menutup usaha mereka.”
Bloomberg pada Senin lalu melaporkan bahwa impor gas alam cair (LNG) dari AS ke Tiongkok turun drastis hingga mencapai nol pada Maret 2025, bahkan sebelum tarif balasan diberlakukan. Data resmi bea cukai Tiongkok mencatat penurunan sebesar 70 persen dalam pengiriman LNG AS sepanjang kuartal pertama tahun ini.
Ketegangan yang meningkat telah membuat Tiongkok menetapkan tarif impor sebesar 125 persen terhadap seluruh barang dari AS, termasuk LNG. Untuk mengatasi kekosongan pasokan, Tiongkok mencoba beralih ke Indonesia dan Qatar. Namun, menurut para pakar, pasokan dari dua negara tersebut belum mampu mengimbangi kehilangan dari sumber utama Amerika.
Laporan dari Business Times menegaskan bahwa dengan tarif sebesar itu, pabrik plastik di Tiongkok justru merugi sekitar USD184 untuk setiap ton etana yang diproses. Tanpa tarif, mereka justru dapat memperoleh keuntungan lebih dari USD100 per ton.
Masalah ini semakin pelik karena pasar etana bersifat jangka panjang dan tidak fleksibel dalam perdagangan langsung di pasar spot. “Pasar etana ditandai oleh kontrak jangka panjang, dengan sedikit atau tanpa kesempatan untuk penjualan kembali secara langsung,” tulis Rystad dalam laporan pada 10 April 2025 lalu.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan baru bagi Beijing, yang selama ini disebut-sebut kerap menggunakan pendekatan agresif dalam kebijakan dagangnya. Mulai dari tuduhan manipulasi mata uang, pelanggaran hak kekayaan intelektual, hingga penggunaan tenaga kerja paksa, strategi dagang Tiongkok kini menghadapi tekanan besar dari lingkungan global yang mulai menolak untuk ‘bermain’ sesuai aturan Beijing.
Meskipun kebijakan tarif balasan ini juga menimbulkan dampak ekonomi di negara-negara Barat, para analis menilai bahwa Tiongkok saat ini justru berada di posisi yang lebih sulit. Ketergantungan tinggi terhadap bahan baku dari Amerika, ditambah dengan kelebihan pasokan dalam negeri, menciptakan krisis ganda bagi sektor plastik yang sebelumnya menjadi andalan ekspor.
Jika krisis ini tidak segera diatasi, Tiongkok berisiko menghadapi dampak lebih dalam, bukan hanya dari sisi produksi, tetapi juga dari hilangnya kepercayaan sebagai pemain utama dalam perdagangan global yang stabil. []
Redaksi11