Krisis Etika Demokrasi: Jokowi Seret Penyebar Fitnah ke Ranah Hukum

JAKARTA – Isu seputar keabsahan ijazah Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), kembali menyeruak ke permukaan menjelang pergantian kekuasaan nasional. Meski telah berkali-kali dibantah dan diklarifikasi oleh institusi akademik terkait, tuduhan ini kembali dipolitisasi dan dijadikan bahan provokasi oleh segelintir pihak yang tidak bertanggung jawab. Dalam menghadapi gelombang tuduhan tersebut, Presiden Jokowi kini bersiap menempuh jalur hukum untuk membersihkan namanya dari dugaan fitnah yang dinilai mencemarkan reputasinya sebagai kepala negara.

Langkah tegas ini diungkapkan oleh kuasa hukum Presiden Jokowi, Yakub Hasibuan, dalam keterangan pers yang disampaikan di sebuah restoran kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (22/04/2025). Yakub menyebutkan bahwa pihaknya tengah memfinalisasi laporan terhadap setidaknya empat individu yang diduga kuat terlibat dalam penyebaran informasi tidak benar mengenai ijazah Presiden.

“Sejauh ini, sementara ini sih mungkin ada sekitar empat orang yang kami sudah lengkapi semua dokumen-dokumen dan bukti-bukti pendukungnya,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa seluruh proses pelaporan dilakukan secara sistematis dan berbasis pada analisis yuridis normatif sesuai hukum yang berlaku.

Menurut Yakub, tim hukum Presiden Jokowi telah merampungkan sekitar 95 persen dokumen yang mencakup kronologi kejadian, lokasi penyebaran informasi, serta identitas pihak-pihak yang diduga terlibat. Bukti-bukti ini mencakup kesaksian, dokumen digital, dan rekam jejak penyebaran informasi di berbagai platform.

“Kita kumpulkan semua saksi-saksinya, data-data kapan, oleh siapa, dan di mana perbuatan itu dilakukan. Itu semua sudah hampir rampung,” kata Yakub.

Ia menegaskan bahwa semua langkah hukum ini ditempuh bukan sekadar untuk membela individu, melainkan untuk menjaga integritas jabatan presiden sekaligus memberikan pelajaran hukum kepada masyarakat bahwa menyebarkan informasi palsu memiliki konsekuensi serius.

Tuduhan mengenai ijazah palsu Presiden Jokowi sejatinya bukan hal baru. Isu ini sempat mencuat pada masa kampanye pemilu sebelumnya, dan selalu muncul kembali saat tensi politik nasional meningkat. Universitas Gadjah Mada (UGM) selaku institusi tempat Jokowi menempuh pendidikan telah secara tegas membantah tudingan tersebut.

UGM, melalui wakil rektornya, telah menyampaikan bahwa Jokowi adalah alumnus Fakultas Kehutanan, dengan tahun masuk dan tahun lulus yang terdokumentasi dengan baik, termasuk judul skripsinya.

Namun, narasi tuduhan ini terus dihidupkan dengan nada insinuatif, menyiratkan adanya skandal besar yang ditutupi, padahal fakta-fakta resmi telah disampaikan secara terbuka kepada publik.Pengamat hukum dan politik Pieter C. Zulkifli melihat bahwa isu ijazah palsu yang kembali dihembuskan mencerminkan krisis yang lebih mendalam dalam demokrasi Indonesia. Menurutnya, sebagian elite politik dan masyarakat gagal memaknai oposisi secara sehat.

“Tuduhan ini bukan semata tentang keabsahan sebuah ijazah. Ia mencerminkan krisis dalam demokrasi: ketidakmampuan untuk beroposisi secara santun dan berbasis data,” ujarnya dalam sebuah pernyataan di Jakarta.

Pieter mengingatkan pentingnya prinsip hukum actori incumbit probatio—barang siapa mendalilkan, ia yang harus membuktikan. Dalam konteks ini, pihak yang menyebarkan tuduhan tanpa bukti kuat bisa dikategorikan menyebarkan fitnah, yang berdampak buruk terhadap tatanan demokrasi dan stabilitas hukum.

Isu ini, menurut Pieter, tidak hidup dalam ruang hampa. Ia menyebut bahwa tuduhan tersebut muncul beriringan dengan masa transisi menuju pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto, sehingga rawan dimanfaatkan sebagai alat manuver politik.

Lebih jauh, Pieter memperingatkan bahwa narasi semacam ini dapat merusak kredibilitas institusi pendidikan, menciptakan ketidakpercayaan publik, dan bahkan mengganggu iklim investasi nasional.

“Investor asing melihat stabilitas politik dan kepastian hukum sebagai parameter utama. Ketika narasi seperti ini dikapitalisasi tanpa kendali, dampaknya bukan hanya domestik tapi juga global,” jelasnya.

Langkah hukum yang akan ditempuh Presiden Jokowi dinilai menjadi simbol bahwa demokrasi harus memiliki pagar etika dan hukum yang jelas. Dalam masyarakat yang semakin terhubung dan mudah mengakses informasi, batas antara kritik dan fitnah kian menipis. Oleh karena itu, upaya klarifikasi harus disertai dengan penegakan hukum.

Pieter menilai bahwa aparat penegak hukum perlu bertindak tegas dalam menanggapi isu yang berpotensi menjerumuskan bangsa dalam ketidakstabilan. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk tidak larut dalam permainan politik remeh-temeh yang mengaburkan substansi demokrasi.

“Demokrasi bukan panggung fitnah. Ia harus menjadi ruang dialektika gagasan dan integritas. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” pungkasnya.

Meski belum diumumkan kapan laporan akan secara resmi dilayangkan, kesiapan yang disampaikan oleh tim hukum Presiden menunjukkan bahwa langkah konkret sedang diambil. Dalam konteks ini, publik juga diharapkan tidak terjebak dalam konsumsi informasi yang tidak terverifikasi, dan lebih mengedepankan literasi hukum serta etika dalam berpolitik.

Isu ijazah palsu Presiden Jokowi bisa jadi hanyalah satu dari sekian narasi provokatif yang akan terus dimainkan sepanjang masa transisi kekuasaan. Namun, ketegasan sikap, transparansi institusi, dan supremasi hukum adalah fondasi yang tetap harus dijaga demi menjaga marwah demokrasi Indonesia. []

Redaksi03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com