Kue Keroncong, Ikon Kuliner yang Tembus Batas Waktu

KUTAI KARTANEGARA – Jika Anda melewati jalan di sekitar Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Tenggarong Seberang, Anda pasti akan tercium aroma khas kue keroncong yang menggoda. Barisan penjual kue keroncong dengan berbagai varian rasa akan menarik perhatian siapa saja untuk berhenti dan mencicipinya. Kue yang terbuat dari tepung terigu dan parutan kelapa ini kini menjadi salah satu ciri khas Desa Teluk Dalam, Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Namun, tahukah Anda bahwa di balik keberhasilan kue keroncong ini, terdapat cerita panjang yang dimulai sejak tahun 1984?

Kisahnya berawal dari Sadino, seorang pria asal Sragen, Jawa Tengah, yang merantau ke Tenggarong. Untuk menyambung hidup, ia mulai berjualan es keliling. Bersama istrinya yang juga berjualan jamu, ia berusaha bertahan hidup di perantauan. Namun, usaha menjual es tidak memberikan hasil yang memuaskan.

Dengan keinginan untuk memperbaiki nasib, Sadino memutuskan untuk pulang ke Sragen dalam waktu yang cukup lama. Namun, pada tahun 1995, ia kembali lagi ke Kalimantan, tepatnya ke daerah Tering, Kutai Barat. Di sana, bersama sepupunya, ia mencoba peruntungan dengan berjualan makanan tradisional Jepang yang kini dikenal sebagai wade keroncong yang diolah menggunakan resep keluarga. Usaha ini berlangsung beberapa tahun, sebelum akhirnya pada tahun 1999, mereka memutuskan untuk memindahkan usaha tersebut ke Tenggarong.

Perubahan besar terjadi pada tahun 2011 ketika Jembatan Kutai Kartanegara yang menghubungkan Tenggarong dan Tenggarong Seberang ambruk. Peristiwa tersebut tidak hanya menyebabkan banyak korban jiwa, tetapi juga menghentikan aktivitas perekonomian di wilayah tersebut.

Desa Teluk Dalam, tempat Sadino berjualan, menjadi salah satu yang paling merasakan dampaknya. Bersama keluarganya, Sadino harus beradaptasi dan mencari lokasi baru untuk berjualan demi bertahan hidup.

Dengan adanya kebijakan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Kartanegara yang menyediakan layanan feri penyebrangan gratis, Sadino memutuskan untuk berjualan di sekitar terminal penyebrangan di Kelurahan Timbau. Ia membawa rombong jinjing untuk berjualan di sana. Setelah pembangunan jembatan baru selesai pada 2015, Sadino kembali membuka lapak di sekitar jembatan Desa Teluk Dalam. Keberhasilan kue keroncong yang dijualnya semakin dikenal, terutama oleh para pengendara yang melintas.

Namun, tantangan baru muncul ketika Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kutai Kartanegara menilai antrean kendaraan yang panjang mengganggu ketertiban lalu lintas. Alhasil, Sadino terpaksa mencari lokasi baru untuk berjualan dan akhirnya memilih tempat di dekat jembatan rumah sakit. Meski usianya semakin bertambah, kue keroncong buatannya tetap diminati oleh banyak orang.

Pada tahun 2019, Sadino memutuskan untuk kembali ke Jawa. Namun, perjalanan kue keroncong Desa Teluk Dalam belum berakhir. Seorang wanita lokal yang ingin memulai usaha mendatangi Sadino dan meminta resep kue keroncong.

Tanpa ragu, Sadino memberikan resep andalannya. “Resep boleh sama, tapi hasil olahan pasti berbeda,” ujarnya.

Wanita tersebut kemudian membuka usaha dengan lapak permanen dan mengemas kue keroncongnya dalam kotak yang lebih menarik.

Kini, berkat perjuangan Sadino dan keluarganya, kue keroncong Desa Teluk Dalam telah berkembang pesat. Lebih dari 42 pelaku UMKM kini memproduksi kue keroncong, menjadikannya sebagai ikon kuliner yang tidak hanya dikenal di Kalimantan, tetapi juga menjadi kebanggaan lokal. Meskipun Sadino dan keluarganya kini telah kembali ke Ngawi, Jawa Timur, warisan kue keroncong yang mereka ciptakan tetap hidup dan terus berkembang di desa kecil ini.

Kisah ini bukan sekadar tentang makanan, tetapi juga tentang ketekunan, inovasi, dan semangat untuk mengubah nasib yang memberikan inspirasi bagi banyak orang. []

Penulis: Anggi Triomi | Penyunting: Nistia Endah Juniar Prawita 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com