KUTAI KARTANEGARA – Perhelatan demokrasi untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2025-2030 di Indonesia telah selesai, namun di balik pesta demokrasi tersebut, masih terdapat problem hukum dalam hal pemenuhan kuota calon legislatif (caleg) perempuan di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).
Menurut Haris Retno Susmiyati, pakar ilmu hukum Universitas Mulawarman (Unmul), meski upaya partai politik (parpol) dalam memaksimalkan kuota 30 persen caleg perempuan sudah dilakukan dengan optimal, angka tersebut belum tercapai. Menurut Retno, sapaannya, hasil pemilu legislatif menunjukkan ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban kuota 30 persen perempuan di kursi DPRD Kaltim.
Meskipun partai politik telah berusaha untuk mengajukan calon legislatif perempuan dalam jumlah yang cukup, keputusan akhir tetap berada di tangan rakyat yang memberikan hak suara. “Ternyata di Kaltim, kuota 30 persen caleg perempuan yang belum terpenuhi. Itu dapat batal demi hukum, untung saja tidak ada partai politik yang menggugat,” ungkap Retno di Kutai Kartanegara, Sabtu (15/02/2025).
Dikatakannya, kuota caleg adalah amanat Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan bahwa setiap partai politik yang mengikuti pemilu wajib mengajukan calon anggota legislatif dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.
Namun, meskipun ada ketentuan ini, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pencapaian tersebut masih belum optimal. Retno menegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) seharusnya mendiskualifikasi partai politik yang tidak memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan.
Menurut Retno, ketentuan ini seharusnya dipenuhi sejak awal saat partai politik mengajukan daftar bakal calon legislatif (bacaleg) mereka pada periode pendaftaran. Ia menambahkan, meskipun kekurangan dalam pemenuhan kuota caleg perempuan, karena partai kurang memberikan politik bagi konstituennya, sehingga minat perempuan mendaftar sebagai caleg sedikit.
Dia menyarankan agar lebih banyak lagi inisiatif dan upaya dilakukan untuk memberikan ruang lebih besar bagi perempuan dalam dunia politik. Pendidikan politik oleh partai politik juga harus dilakukan jauh hari, bukan menjelang pemilihan.
Menurutnya, hal ini tidak hanya soal angka, tetapi juga tentang meningkatkan kesadaran dan pemberdayaan perempuan agar dapat berkontribusi secara maksimal dalam pembangunan daerah melalui peran legislatif.
Keterlibatan perempuan yang lebih besar dalam politik diharapkan bisa menghasilkan keputusan yang lebih optimal dan adil bagi semua lapisan masyarakat. “Ke depannya, partai politik harus semakin memperhatikan kualitas caleg perempuan, bukan hanya sekadar memenuhi kuota. Hal ini penting untuk menciptakan pemerintahan yang lebih representatif dan beragam,” ujar Haris.
Dalam konteks ini, penting bagi KPU dan partai politik untuk mengevaluasi kembali mekanisme pengajuan caleg dan memperkuat pemahaman tentang pentingnya representasi perempuan di legislatif. Pemilu yang lebih adil diharapkan dapat menciptakan keseimbangan dalam pengambilan keputusan yang mencakup kepentingan seluruh masyarakat. []
Penulis: Nistia Endah Juniar Prawita