PARIS — Sejumlah media asing menyoroti pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang dinilai membuka ruang lebih besar bagi militer dalam jabatan sipil. Kantor berita asal Prancis, AFP, melaporkan bahwa perubahan ini memicu kekhawatiran publik atas potensi kembalinya militerisme seperti era Orde Baru.
Revisi tersebut memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh personel aktif TNI dari sebelumnya 10 menjadi 14 posisi. Langkah ini menuai kritik tajam dari kelompok masyarakat sipil dan pemantau hak asasi manusia. Aksi unjuk rasa besar pun pecah di berbagai daerah, membawa slogan “mengembalikan militer ke barak”.
Andrie Yunus dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut protes itu sebagai puncak dari gunung es kekecewaan publik terhadap dominasi militer. “Masyarakat muak dengan masuknya militer ke urusan-urusan sipil,” ujarnya kepada AFP, Minggu (20/04/2025). Ia menilai pengesahan undang-undang tersebut sebagai “upaya membuka kotak pandora”.
AFP juga menyinggung latar belakang Presiden Prabowo yang pernah menjabat sebagai komandan pasukan elite pada masa akhir pemerintahan Soeharto. Meski ia membantah keterlibatan dalam pelanggaran HAM seperti penculikan aktivis, tuduhan tersebut masih membayangi rekam jejaknya. Prabowo, menurut laporan itu, terpilih sebagai Presiden pada 2024, namun justru memperluas peran militer di enam bulan pertama kepemimpinannya.
“Pemerintah tidak menyadari Indonesia punya trauma kolektif terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru Suharto,” ungkap Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad.
Media lain seperti Channel News Asia (CNA) dan The Straits Times dari Singapura juga menyoroti dampak revisi UU TNI terhadap kualitas demokrasi Indonesia. CNA menilai langkah ini bisa merusak reputasi Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
“RUU tersebut telah dikritik oleh kelompok masyarakat sipil, yang menyatakan bahwa RUU itu dapat membawa negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini kembali ke era Orde Baru yang kejam,” tulis CNA.
Sementara itu, The Straits Times merinci perubahan dalam undang-undang yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil strategis tanpa harus pensiun. Penambahan instansi mencakup Kejaksaan Agung, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Kantor berita Inggris, Reuters, juga mengangkat kritik serupa dalam artikelnya, mengutip kekhawatiran warga sipil atas kemungkinan kembalinya pola pemerintahan militeristik ala Orde Baru.
Menanggapi kritik tersebut, Kepala Kantor Kepresidenan Hasan Nasbi menegaskan bahwa UU TNI tidak bermaksud menghidupkan kembali Orde Baru. “Undang-undang ini membatasi peran… ke 14 sektor yang sangat membutuhkan kemampuan dan keahlian yang relevan dengan pelatihan militer,” kata Hasan kepada AFP. Ia juga menyebut para pengkritik sebagai pihak yang “tidak akurat”.
Di sisi lain, AFP juga menyoroti isu kebebasan pers di era Prabowo, terutama terkait wacana revisi UU Polri yang memperluas kewenangan polisi terhadap aktivitas jurnalis dan ilmuwan asing. Rencana ini menimbulkan kekhawatiran akan pengekangan terhadap kebebasan berekspresi.
Serangan terhadap Tempo, baik dalam bentuk pengiriman kepala babi maupun serangan digital, menjadi perhatian internasional. Andreas Harsono dari Human Rights Watch menilai, “Jika jurnalisme ditindas, kebebasan berpendapat ditekan, demokrasi akan lumpuh.”
Kritik dan pengawasan internasional terhadap kebijakan pemerintah Indonesia saat ini menjadi sorotan penting, di tengah harapan agar demokrasi di tanah air tidak mengalami kemunduran di bawah kepemimpinan baru. []
Redaksi03