NUSA TENGGARA TIMUR – Penangkapan sekitar tujuh terduga pelaku yang tergabung dalam grup ‘Fantasi Sedarah’ dan ‘Suka Duka’ di media sosial Facebook kembali mengungkap betapa kompleksnya persoalan kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia. Kejadian ini menambah panjang daftar kasus eksploitasi seksual yang mencoreng ruang daring, sekaligus menimbulkan kekhawatiran tentang keamanan ruang maya bagi anak-anak.
Tak berselang lama, kasus serupa mengguncang Kota Medan, Sumatera Utara. Seorang kakak dan adik diketahui menjalin hubungan sedarah hingga melahirkan seorang bayi. Mirisnya, bayi tersebut dibuang menggunakan jasa ojek daring.
Rangkaian kasus ini memunculkan pertanyaan di kalangan masyarakat dan pemerhati: apakah ruang publik, baik fisik maupun digital, masih aman bagi anak-anak? Apalagi, peristiwa ini terjadi tak lama setelah kasus serupa menjerat AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, seorang perwira kepolisian di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Data dari Aliansi Peduli Perempuan dan Anak (APPA) menyebutkan bahwa 75 persen narapidana di NTT terjerat kasus kekerasan seksual. Ketua Tim Penggerak PKK NTT, Asti Laka Lena, menyebut fakta ini sebagai sinyal bahwa wilayah tersebut telah memasuki status darurat kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak.
“Fakta 75 persen narapidana di NTT adalah pelaku kejahatan seksual menjadikan NTT sebagai provinsi darurat kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak,” kata Asti dalam rapat bersama Komisi III DPR di Jakarta, Selasa (20/5).
Sosiolog kriminalitas dari Universitas Gadjah Mada, Soeprapto, menjelaskan bahwa pemenuhan kebutuhan seksual adalah bagian dari naluri manusia. Namun, ia menegaskan bahwa dorongan tersebut kerap melahirkan penyimpangan karena sifat dasar manusia yang tidak sepenuhnya terkendali.
Ia merujuk pada pandangan Sigmund Freud, yang menyebut bahwa dorongan tak bertanggung jawab kerap muncul dari alam bawah sadar dan hanya dapat dikendalikan oleh nilai sosial yang disepakati bersama, seperti norma atau kebiasaan masyarakat.
Soeprapto menilai media sosial berperan besar dalam normalisasi penyimpangan tersebut. Menurutnya, platform digital memungkinkan hal-hal tabu menjadi tampak lazim dan bisa mengaburkan batas antara penyimpangan dan kebiasaan umum.
“Jika penggunaan media sosial ini tidak dikontrol dengan baik maka masyarakat akan merasa bahwa telah terjadi evasi norma atau terjadi perubahan perilaku yang semula dianggap sebagai perilaku menyimpang atau patologis seolah sudah disepakati dan diterima masyarakat,” ujarnya, Kamis (22/5).
Di sisi lain, pakar psikologi forensik Reza Indragiri menegaskan bahwa hubungan inses harus dipahami sebagai kejahatan seksual, bukan sekadar penyimpangan perilaku. Ia mengingatkan bahwa tindakan tersebut tidak hanya soal penyimpangan sosial, melainkan juga berkaitan dengan aspek hukum dan pertanggungjawaban pidana.
“Karena itu berhati-hati ketika kita asosiasikan kasus ini serba istilah yang mengarah pada penyakit. Gangguan, kelainan, penyimpangan, patologi, dan sebagainya. Karena sadar tidak sadar, begitu kita sematkan embel-embel penyakit, maka tidak tertutup kemungkinan, orang sakit diberikan pengobatan,” kata Reza.
Reza menyebut meski belum ada aturan yang secara spesifik mengatur hubungan sedarah, pelaku bisa dijerat dengan berbagai pasal hukum, terutama bila korban masih anak-anak. Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi dua perangkat hukum yang dapat digunakan, ditambah Undang-Undang Pornografi atau Informasi dan Transaksi Elektronik jika terdapat unsur konten seksual.
“Jadi saya bayangkan ada lima sampai enam piranti hukum yang bisa kita gunakan,” tambahnya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Supardji Ahmad, bahkan mendorong penerapan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Menurutnya, kasus semacam ini sudah harus menjadi alarm serius bagi aparat penegak hukum.
Supardji mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, serta Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 yang mengatur teknis pelaksanaan hukuman kebiri kimia. Dalam aturan tersebut, hukuman kebiri dapat dikenakan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang merupakan residivis, atau yang menyebabkan luka berat, kematian, atau trauma berat pada korban.
“Pasal ini telah menjerat perbuatan para pelaku. Sanksi kebiri dapat diberlakukan,” ujar Supardji.
Deretan kasus yang muncul ini memperlihatkan pentingnya penguatan literasi digital, perlindungan hukum yang tegas, serta penanganan psikologis yang sensitif dan berpihak kepada korban, terutama anak-anak. []
Redaksi12