JAKARTA – Pemerintah Indonesia resmi menguatkan kerangka hukum pemeriksaan pajak dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025. Regulasi ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam proses pemeriksaan pajak, termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang sebelumnya diatur dalam berbagai peraturan terpisah. Selain itu, aturan ini juga menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
Dalam PMK yang diterbitkan pada Minggu (23/02/2025), dijelaskan bahwa Direktur Jenderal Pajak (DJP) memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak guna menguji kepatuhan wajib pajak serta memastikan bahwa pelaksanaan ketentuan perpajakan sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pemeriksaan tersebut mencakup satu atau beberapa jenis pajak, baik untuk satu masa pajak, beberapa masa pajak, maupun satu atau beberapa tahun pajak, termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Dalam regulasi terbaru ini, PMK 15/2025 membagi pemeriksaan pajak ke dalam tiga jenis kategori yang berbeda, yaitu pemeriksaan lengkap, pemeriksaan terfokus, dan pemeriksaan spesifik.
- Pemeriksaan Lengkap: Dilakukan untuk menguji kepatuhan wajib pajak secara menyeluruh, yang mencakup seluruh pos dalam Surat Pemberitahuan (SPT) dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), dengan analisis yang mendalam.
- Pemeriksaan Terfokus: Lebih menitikberatkan pada satu atau beberapa pos tertentu dalam SPT/SPOP yang akan dikaji secara lebih rinci, meskipun cakupannya lebih sempit.
- Pemeriksaan Spesifik: Bertujuan untuk menguji kepatuhan atas pos tertentu dalam SPT/SPOP atau kewajiban perpajakan lainnya dengan pendekatan yang lebih sederhana.
Regulasi ini berlaku untuk berbagai jenis pajak yang dikelola oleh DJP, antara lain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Karbon, serta pajak lainnya yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, PMK ini juga menyebutkan bahwa pemeriksaan pajak dapat dilakukan untuk tujuan non-kepatuhan, seperti penentuan nilai pajak, pencocokan data, pemenuhan kewajiban khusus, atau pengumpulan materi pendukung yang relevan. “Pemeriksaan untuk tujuan lain dapat mencakup penentuan, pencocokan data, pemenuhan kewajiban berdasarkan ketentuan, atau pengumpulan materi terkait tujuan pemeriksaan,” kata Pasal 6 PMK tersebut.
Dengan diterbitkannya PMK 15/2025, pemerintah berharap dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemeriksaan pajak. Pembagian jenis pemeriksaan yang lebih jelas diharapkan memudahkan wajib pajak dalam memahami cakupan evaluasi yang dilakukan oleh otoritas pajak. Hal ini juga sejalan dengan komitmen pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak sukarela sekaligus meminimalisir potensi penyimpangan.
Menurut Prof. Ahmad Ridwan, seorang ahli perpajakan dari Universitas Indonesia, pembagian pemeriksaan dalam tiga kategori ini dapat meningkatkan efisiensi kerja DJP. “Pemeriksaan terfokus dan spesifik memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih optimal, terutama untuk kasus-kasus yang lebih kompleks,” ujar Prof. Ridwan.
Peraturan ini mulai berlaku efektif sejak tanggal diundangkan dan diharapkan dapat menciptakan ekosistem perpajakan yang lebih adil dan berintegritas, memberikan kejelasan serta kemudahan bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. []
Penulis: Muhammad Yusuf | Penyunting: Nistia Endah Juniar Prawita