Perang Dagang: Indonesia Diserang, China Mengancam

KETEGANGAN perdagangan global kembali memanas setelah Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump memberlakukan tarif baru terhadap sejumlah produk dari China dan sekutunya. Kebijakan ini langsung mengguncang pasar internasional, termasuk Indonesia yang ikut merasakan dampaknya. Banjir produk impor, tekanan ekspor, hingga ancaman geopolitik menjadi babak baru dalam dinamika ekonomi tanah air.

Pengusaha di dalam negeri mulai waswas. Mereka khawatir Indonesia akan menjadi sasaran pelimpahan produk murah dari China dan negara sekutunya, sebagai efek domino dari perang tarif dengan AS. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid menyatakan bahwa Indonesia sangat rentan dijadikan “tempat pembuangan” barang-barang berlebih dari negara-negara yang terkena tarif tinggi dari AS.

“Kita harus waspada. Jangan sampai Indonesia jadi tempat muntahan produk yang tak terserap di negara lain,” ujarnya dalam sebuah forum diskusi di Jakarta.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan semakin tertekan sektor industri manufaktur lokal. Produk dalam negeri dikhawatirkan tak mampu bersaing dari sisi harga maupun kualitas dengan produk impor yang dijual murah demi menghindari kerugian lebih lanjut dari negara asalnya.

Sementara itu, pemerintah Indonesia masih berusaha menavigasi langkah diplomatik. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa Indonesia diberi waktu 60 hari oleh AS untuk merespons kebijakan tarif tersebut. Dalam kurun waktu ini, kedua negara dapat melakukan negosiasi dan mencari jalan tengah agar ekspor Indonesia ke AS tidak turut terdampak.

“Kita akan manfaatkan waktu yang ada untuk melakukan negosiasi yang konstruktif,” ujar Airlangga.

Salah satu strategi yang tengah ditempuh Indonesia adalah mengalihkan pasar ekspor ke negara-negara lain seperti Australia dan kawasan Eropa. Langkah ini diambil guna menjaga stabilitas perdagangan nasional dan menghindari risiko penurunan ekspor yang terlalu tajam ke pasar AS. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Budi Santoso menyebut bahwa diversifikasi pasar ekspor menjadi langkah realistis di tengah tekanan global.

Namun, situasi menjadi semakin pelik ketika China secara terbuka mengancam negara-negara yang ikut bernegosiasi dengan AS dalam konteks perang dagang. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China menyatakan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam jika sekutu-sekutu tradisionalnya memilih berpihak kepada kebijakan proteksionis AS.

“Kami memperhatikan dengan serius langkah negara-negara yang membuka pintu negosiasi dengan AS. Jika mereka ikut dalam permainan tarif ini, tentu akan ada konsekuensi,” tegas pernyataan tersebut.

Ancaman ini menempatkan Indonesia dalam posisi yang serba salah. Di satu sisi, Indonesia perlu menjaga hubungan strategis dengan AS, terutama dalam bidang perdagangan dan investasi. Di sisi lain, China merupakan mitra dagang utama dan investor besar dalam sejumlah proyek infrastruktur strategis di tanah air. Ketegangan ini menyeret Indonesia ke dalam dilema geopolitik yang rumit.

Di tengah tekanan ini, para analis pasar modal juga mengingatkan agar investor mencermati sejumlah sektor saham yang berpotensi terdampak. Sektor manufaktur, otomotif, dan tekstil menjadi sorotan karena sangat bergantung pada pasar ekspor dan bahan baku impor. Saham-saham di sektor logistik dan pelabuhan juga diprediksi akan mengalami fluktuasi tajam seiring perubahan jalur perdagangan global.

“Kondisi pasar akan sangat volatil. Investor harus jeli memilih sektor-sektor yang lebih defensif dalam situasi seperti ini,” kata analis pasar dari salah satu perusahaan sekuritas nasional.

Beberapa ekonom juga menyarankan agar pemerintah memperkuat daya saing industri dalam negeri, mempercepat proses hilirisasi, dan mendorong konsumsi domestik sebagai penyeimbang. Langkah-langkah ini diyakini mampu menahan gempuran barang impor sekaligus menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan eksternal.

Sementara itu, sejumlah asosiasi industri mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret. Mereka meminta penguatan pengawasan impor, penerapan bea masuk tambahan terhadap produk-produk yang rawan dumping, serta stimulus untuk industri lokal agar tetap kompetitif.

“Kita perlu langkah perlindungan yang tegas. Kalau tidak, industri kita bisa kolaps,” tegas Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani.

Pemerintah pun mulai membuka ruang untuk evaluasi tarif dan kebijakan perdagangan yang dinilai perlu diubah mengikuti perkembangan terbaru. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan dikabarkan tengah melakukan kajian bersama untuk merumuskan respons kebijakan yang tepat.

Di balik semua itu, perang dagang ini juga menyimpan peluang. Beberapa sektor bisa mengambil keuntungan jika pemerintah mampu mengelola momentum dengan cermat. Sektor pertanian, produk halal, dan digital economy disebut-sebut memiliki potensi besar untuk menembus pasar non-tradisional yang belum tersentuh secara maksimal.

Namun, tantangannya tetap besar. Perang dagang ini bukan semata-mata soal tarif, melainkan soal pengaruh dan dominasi ekonomi global. Indonesia sebagai negara berkembang harus memainkan strategi cerdas agar tidak terjebak dalam pusaran konflik dua raksasa ekonomi dunia.

Di tengah guncangan ini, harapan besar bertumpu pada ketangguhan pelaku usaha, kecermatan pemerintah, dan kekuatan kolaborasi lintas sektor. Indonesia bukan sekadar penonton dalam drama global ini, melainkan bagian dari narasi besar yang menentukan arah masa depan ekonomi kawasan.

Perang dagang bisa menjadi malapetaka, tapi juga bisa menjadi momentum kebangkitan. Yang pasti, Indonesia harus siap—karena dunia sedang berubah lebih cepat dari sebelumnya. []

Penulis: M. Reza Danuarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com