Polemik Ekspor Kratom: Pro-Kontra Klasifikasi Tanaman Semakin Memanas

JAKARTA – Ekspor kratom dari Indonesia hingga kini masih terperangkap dalam polemik yang berkepanjangan. Kebijakan ekspor terbaru yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag) menyebabkan sejumlah eksportir gagal mengirim ribuan ton komoditas tersebut ke luar negeri.

Masalah utama terletak pada ketidakjelasan perizinan ekspor yang diterapkan pemerintah, yang dinilai membingungkan pelaku usaha.

Profesor Masteria Yunovilsa Putra, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan bahwa polemik ini timbul akibat adanya pro-kontra terkait status tanaman Mitragyna speciosa, yang dikenal dengan nama kratom.

Tanaman yang berasal dari Asia Tenggara ini telah lama digunakan sebagai bahan herbal untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan.

Di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, kratom menjadi sumber penghidupan utama bagi sebagian masyarakat yang menanam dan menjualnya sebagai minuman serupa teh. Namun, tanaman ini juga sering dikaitkan dengan potensi penyalahgunaan dan masuk dalam kategori narkotika baru.

“Kratom merupakan tanaman asli Indonesia dan negara-negara ASEAN. Pro-kontra terhadapnya wajar terjadi. Sejak 2023, BRIN ditugaskan pemerintah untuk meneliti dampak positif dan negatifnya,” ujar Masteria, Selasa (28/01/2025).

Masteria menilai bahwa regulasi ekspor yang diterapkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) bertujuan untuk memastikan kualitas produk sebelum memasuki pasar global.

Ia menjelaskan bahwa penerapan aturan ketat ini merupakan respons terhadap peringatan impor (import alert) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), yang terkait dengan temuan kontaminasi logam berat dan mikrobiologi pada kratom asal Indonesia.

“Regulasi Kemendag adalah bentuk diplomasi agar FDA mencabut import alert. Eksportir terdaftar (ET) wajib memenuhi standar Permendag dan pengendalian mutu (QC) melalui laboratorium surveyor untuk setiap batch ekspor,” paparnya.

Ia mendorong sinergi lintas instansi seperti Kementerian Kesehatan (Kemenkes), BRIN, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Badan POM untuk mempercepat riset komprehensif.

“Diskusi bersama diperlukan agar klasifikasi ilmiah kratom jelas. Petani dan eksportir butuh kepastian hukum, terutama jelang pertemuan Komisi Narkotika PBB (UN CND) Maret mendatang,” tegasnya.

Dalam forum tersebut, beberapa negara Eropa, termasuk Swedia, serta Amerika Serikat menyatakan rencana untuk mengusulkan pelarangan kratom. Jika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan tanaman tersebut sebagai psikotropika, dampaknya diperkirakan akan sangat besar.

“Regulasi WHO akan diadopsi negara pengimpor, sehingga ekspor Indonesia terhambat,” tambah Masteria.

Di sisi lain, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan potensi medis kratom yang dapat digunakan sebagai obat antikanker, antiinflamasi, serta analgesik (pereda nyeri).

“BRIN berpijak pada data ilmiah. Kami menyampaikan manfaat dan risikonya secara objektif. Keputusan akhir ada di Kemenkes dan Badan POM sebagai regulator,” jelasnya.

Masteria menekankan, pembahasan status kratom harus melibatkan bukti saintifik untuk meminimalisasi bias.

“Jika hasil riset membuktikan manfaatnya, pemerintah perlu merancang regulasi yang melindungi petani sekaligus mencegah penyalahgunaan,” pungkasnya.

Polemik terkait kratom menggambarkan kompleksitas antara potensi ekonomi dan aspek keamanan kesehatan. Diperlukan langkah strategis agar Indonesia tidak kehilangan pasar global, sekaligus memastikan produk yang dihasilkan aman dan memiliki daya saing. []

Penulis: Muhammad Yusuf | Penyunting: Nistia Endah Juniar Prawita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com