HULU SUNGAI TENGAH – Sentra industri kopiah haji yang pernah berjaya di Desa Tabudarat, Kecamatan Labuanamas Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), kini harus gulung tikar.
Pasar yang dulu dipenuhi dengan aktivitas produksi kopiah haji kini kosong dan hanya menyisakan kenangan. Aktivitas perajin yang dulu menghidupi banyak keluarga, kini berhenti produksi satu per satu.
Industri rumahan ini, yang menjadi salah satu kebanggaan masyarakat setempat, mengalami penurunan drastis setelah tahun 2007.
Para perajin terpaksa menghadapi kenaikan harga bahan baku seperti benang dan kain yang semakin mahal, ditambah dengan biaya operasional yang terus meningkat. Kondisi ini semakin buruk, hingga pada 2016, hanya tinggal 10 unit usaha yang dapat bertahan.
Menurut Mahyudinnor, salah satu mantan perajin kopiah haji yang masih mengingat masa kejayaannya, kondisi ini sungguh menyedihkan.
“Sekarang, benar-benar tinggal kenangan. Peralatan mesin jahit dan bordir teronggok di rumah masing-masing,” kata Mahyudinnor dengan nada penuh penyesalan.
Ia mengungkapkan, dirinya adalah salah satu perajin terakhir yang bertahan hingga 2019.
Pada masa kejayaannya, sekitar tahun 2000 hingga 2005, hampir seluruh warga Desa Tabudarat terlibat dalam pembuatan kopiah haji. Produk-produk tersebut bahkan diekspor ke luar negeri, seperti Malaysia, Arab Saudi, dan Turki. Namun, lambat laun, persaingan dengan produk-produk luar, terutama dari Malaysia, membuat industri ini tergerus.
“Sekarang, Malaysia sudah memproduksi kopiah haji sendiri dengan menggunakan teknologi komputer untuk bordiran. Sementara kami masih menggunakan mesin manual,” jelas Mahyudinnor.
Ketinggalan dalam hal teknologi menjadi faktor utama yang menghambat daya saing produk Tabudarat. Dengan teknologi komputer, kapasitas produksi menjadi jauh lebih besar, dan kualitas produk pun lebih baik.
“Perajin manual seperti kami, dalam sehari hanya bisa memproduksi sekitar 4 hingga 5 kodi. Satu kodi terdiri dari 20 kopiah,” tambahnya.
Selain itu, biaya investasi untuk mesin bordir dengan teknologi komputer sangat tinggi, berkisar antara Rp100 juta hingga Rp200 juta, jauh lebih mahal dibandingkan dengan mesin manual yang hanya berharga sekitar Rp10 juta.
Mahyudinnor menambahkan, meskipun ada keinginan untuk beralih ke mesin komputer, tantangannya adalah keterbatasan dalam hal pelatihan dan pengetahuan mengenai penggunaan mesin tersebut.
Seiring dengan merosotnya industri ini, banyak perajin yang beralih ke usaha lain. Beberapa di antaranya mulai menjual makanan, sembako, hingga membuka warung. Dulu, Desa Tabudarat dikenal sebagai “kampung kopiah haji”, tetapi kini identitas itu perlahan memudar.
Hal ini semakin terasa setelah baliho besar yang menyebutkan “Sentra Kopiah Haji” yang dipasang di simpang jalan A Yani menuju Desa Tabudarat dicopot, menandakan berakhirnya masa kejayaan industri ini.
Kini, meskipun industri kopiah haji di Desa Tabudarat sudah tidak beroperasi lagi, kenangan akan masa kejayaannya tetap menjadi bagian penting dari sejarah masyarakat setempat. Warga berharap ada upaya untuk menghidupkan kembali industri ini dengan penerapan teknologi yang lebih modern dan dukungan pemerintah. []
Redaksi03