SANGATTA – Sejumlah sopir Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) yang beroperasi di Terminal Tipe B, Jalan Poros Sangatta-Bontang, Kabupaten Kutai Timur (Kutim), mengeluhkan kesulitan mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar bersubsidi di sejumlah SPBU di wilayah Sangatta. Hal ini terutama dirasakan di SPBU yang terletak di depan Sangatta Town Center (STC) dan APT Pranoto Sangatta.
Anca, salah seorang sopir AKDP yang telah mengabdi selama 15 tahun melayani rute antar kabupaten, mengungkapkan keresahannya mengenai pengisian solar yang kini semakin sulit dilakukan. Menurutnya, para sopir angkutan umum sering kali harus mencari solar hingga ke SPBU yang lebih jauh, seperti SPBU Kilometer 1, atau bahkan harus mengandalkan kupon yang kadang tidak tersedia.
“Kalau kami enggak dapat solar dari Samarinda, kami terpaksa cari ke STC atau ke Kilometer 1. Kalau ke Kilometer 1 masih mending bisa antre, tapi kalau ke STC itu harus pakai kupon dan kuponnya dibayar cuma buat dapat nomor antrean, itu pun sering kehabisan,” ujarnya, Sabtu (05/04/2025).
Anca menilai, sistem pembagian solar subsidi di SPBU tidak berpihak pada angkutan umum. Menurutnya, yang sering menguasai antrean solar di SPBU adalah oknum-oknum tertentu, seperti mobil ekspedisi atau pengepul solar. Akibatnya, para sopir yang benar-benar melayani penumpang umum harus antre berhari-hari tanpa mendapat giliran.
“Sehari-hari yang jagain SPBU malah kuasai solar. Kami yang benar-benar bawa penumpang umum, kadang antre berhari-hari enggak dapat juga. Selama saya nyopir, enggak pernah mengalami pengisian yang benar-benar normal,” tuturnya.
Anca berharap, pihak terkait dan pengelola SPBU dapat memberikan prioritas bagi kendaraan angkutan umum, khususnya yang menggunakan plat kuning. Menurutnya, kendaraan angkutan umum yang melayani masyarakat seharusnya lebih diprioritaskan dibandingkan kendaraan lain, seperti angkutan wisata.
“Harusnya angkutan umum plat kuning diprioritaskan. Tapi jangan semua plat kuning juga, karena ada juga yang plat kuning tapi angkutan wisata, seperti Cendana. Mereka itu tarifnya bisa Rp500 ribu sekali jalan ke Balikpapan, sedangkan kami cuma Rp55.000 sampai Rp70.000,” jelasnya.
Karena kesulitan mendapatkan solar di SPBU, banyak sopir yang terpaksa membeli BBM dari pengecer dengan harga yang lebih mahal. Anca mengungkapkan, harga solar di pengecer bisa mencapai Rp12.000 hingga Rp13.000 per liter, sementara harga normal di SPBU hanya Rp6.800 per liter. Kondisi ini tentu saja memberatkan para sopir yang mayoritas bekerja dengan sistem kontrak atau bagi hasil.
“Kalau sudah enggak dapat di pom, kami beli eceran, bisa Rp12.000 sampai Rp13.000 per liter. Sedangkan di SPBU cuma Rp6.800. Tekor kita, Bang. Bahkan kadang harus minta tambahan solar dari penumpung, nambah lagi Rp10 ribu atau Rp20 ribu baru bisa jalan,” ujar Anca.
Situasi ini membuat para sopir AKDP kesulitan bertahan, terutama mengingat mayoritas mereka tidak mendapatkan gaji tetap. Sebagian besar sopir bekerja dengan sistem kontrak atau berbagi hasil berdasarkan jumlah penumpang yang diangkut. “Kami ini swasta. Ada yang sistem kontrak, ada juga yang cuma dapat persenan dari jumlah penumpang. Jadi kalau solar mahal dan susah dicari, ya kami yang rugi,” tutup Anca. []
Redaksi03