Tarif Baru AS Dongkrak Harga Batu Bara

JAKARTA — Harga batu bara global akhirnya menghentikan tren penurunan selama tiga hari berturut-turut. Kenaikan ini didorong oleh kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menerapkan tarif impor tambahan, memicu respons pasar energi, khususnya di kawasan Asia.

Berdasarkan data Refinitiv per Senin (07/04/2025), harga batu bara tercatat sebesar US$98,9 per ton, naik 0,92% dibandingkan posisi sebelumnya pada 4 April yang berada di angka US$98 per ton. Kenaikan ini menjadi sinyal positif bagi pelaku industri batu bara, terutama pedagang dan penambang, yang justru menjadi pihak diuntungkan dari kebijakan proteksionisme tersebut.

Langkah Trump yang menambahkan tarif impor minimal 10% terhadap hampir seluruh barang masuk ke AS membuat negara-negara produsen di Asia mencari strategi efisiensi biaya, termasuk dalam sektor energi. Batu bara, yang masih menyumbang 56% pasokan listrik di Asia pada 2024, dinilai sebagai opsi termurah untuk menjaga daya saing ekspor.

“Batu bara tetap menjadi tulang punggung pasokan listrik karena efisiensi biayanya, terutama dalam menghadapi tekanan tarif dari AS,” demikian kutipan laporan dari hellenicshippingnews.com yang menyoroti peran strategis komoditas ini.

Namun, meningkatnya ketergantungan pada batu bara memunculkan kekhawatiran lingkungan. Di tengah dorongan global menuju transisi energi bersih, peningkatan konsumsi batu bara dikhawatirkan memperparah emisi karbon, terutama di negara-negara berkembang.

Meski gas alam mulai menggantikan peran batu bara di beberapa negara dan menyumbang 10% pasokan listrik regional pada 2024, biaya yang lebih tinggi membuat pilihan itu sulit dijangkau bagi banyak negara Asia. Praktis, penghematan biaya energi kini lebih diprioritaskan dibandingkan target pengurangan emisi.

Data Kpler menunjukkan lonjakan impor batu bara di berbagai negara Asia selama 2024: Vietnam naik 28%, Kamboja 26%, China 10%, Filipina 5%, dan Malaysia 3%. Angka ini menunjukkan bahwa Asia kini menjadi konsumen batu bara dengan pertumbuhan tercepat di dunia.

Proyeksi perdagangan 2025 pun masih menunjukkan tren serupa. Kebutuhan menekan biaya operasional akibat tarif AS diperkirakan mendorong lonjakan volume pengiriman batu bara ke kawasan ini. Para pelaku industri optimistis, sektor batu bara akan tetap tumbuh baik dari sisi permintaan maupun profit margin.

Namun di sisi lain, para pengamat energi mengingatkan akan dilema yang tengah dihadapi kawasan. “Tanpa adanya insentif yang kuat untuk transisi hijau, proteksionisme global justru memperlambat upaya dekarbonisasi,” ungkap analis energi dalam laporan yang sama.

Kondisi ini menandakan bahwa kebijakan dagang Amerika Serikat kini tidak hanya mengganggu rantai pasok global, tetapi juga memberi efek domino terhadap arah kebijakan energi negara-negara berkembang, terutama di Asia. Batu bara, yang sempat terpinggirkan oleh narasi transisi hijau, tampaknya kembali ke garis depan sebagai pilihan utama yang dianggap realistis secara ekonomi. []

Penulis: Muhammad Yusuf | Penyunting: Nistia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com