Tekanan Sosial dan Politik, WNI Pindah Kewarganegaraan

JAKARTA – Polarisasi politik dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia mendorong sejumlah warga negara Indonesia (WNI) memilih meninggalkan tanah air dan mengganti kewarganegaraan.

Kevin, mantan WNI yang kini berstatus warga negara Jepang, mengungkapkan alasannya meninggalkan Indonesia. Sejak kecil, ia merasa hidup sebagai minoritas beretnis Tionghoa dan beragama Kristen di Indonesia. Situasi tersebut membuatnya menyimpulkan bahwa minoritas harus menyesuaikan diri atau pergi.

“Ketika kita tidak suka dengan suatu keadaan, bukan mayoritas yang harus berubah, melainkan minoritas yang harus menerima atau pindah,” ujar Kevin, mengenang.

Ia mulai berpikir untuk pergi setelah gelombang demonstrasi ormas di Monas pada 2016. Saat itu, ia mengalami langsung perubahan sikap orang-orang di sekitarnya yang mengafirkan dirinya tanpa sebab.

“Sejak itu saya merasa tidak pantas menjadi warga negara Indonesia,” katanya.

Pada 2018, Kevin berangkat ke Jepang untuk melanjutkan pendidikan dengan bekal 60 ribu yen dari orang tuanya. Ia membiayai sendiri seluruh biaya hidup dan studi hingga akhirnya bekerja sebagai supervisor tim penerjemah di sebuah perusahaan otomotif. Proses naturalisasinya dimulai pada 2022 dan rampung pada akhir 2023.

Kini, Kevin mengaku hidup lebih damai di Jepang, di mana urusan agama dan politik dianggap sebagai ranah pribadi.

“Puji Tuhan, di Jepang orang-orangnya tidak mencampuri agama atau pilihan politik orang lain. Jadi, hidup lebih tenang dan fokus mengejar cita-cita,” ujarnya.

Meski telah berganti kewarganegaraan, Kevin masih mengikuti perkembangan politik Indonesia. Ia bahkan mengaku terharu melihat perubahan perilaku pemilih muda dalam Pilpres 2024 yang, menurutnya, mulai meninggalkan politik identitas.

Cerita serupa dialami Kris, eks WNI yang kini menjadi warga negara Swedia. Ia berasal dari keluarga yang tiga generasi berturut-turut mengalami ketidakamanan di Indonesia karena latar belakang etnis dan keyakinan mereka.

Pada 1966, sebagian keluarga Kris bermigrasi ke China, Hong Kong, dan Makau akibat meningkatnya sentimen anti-Tionghoa. Pada 1998, kerusuhan kembali mendorong anggota keluarganya pindah ke Amerika Serikat.

Pengalaman pribadi Kris semakin membulatkan tekadnya untuk pergi. Pada 2015, ia mengalami langsung persekusi saat menghadiri pameran seni bertema kisah Yesus di Bantul, Yogyakarta. Pameran itu dikepung ormas dengan tudingan Kristenisasi, padahal acara tersebut murni kegiatan seni.

“Polisi hanya menyuruh kami mengikuti kemauan mereka. Berita kejadian itu bahkan dilarang disebarluaskan,” kenangnya.

Pada 2017, Kris mendapatkan kesempatan studi di Swedia, yang kemudian ia manfaatkan untuk berpindah kewarganegaraan. Menurutnya, rasa aman yang ia dapatkan di Swedia tak pernah ia rasakan selama hidup di Indonesia.

“Indonesia yang pernah menjadi rumah saya itu hanya tinggal kenangan,” ucapnya.

Kondisi politik Indonesia pasca-Pilpres 2024 juga mendorong Ikhsan (bukan nama sebenarnya), seorang WNI di Belanda, mempertimbangkan untuk berganti kewarganegaraan.

“Saya bilang ke istri, kalau Prabowo-Gibran menang, we are not going back,” kata Ikhsan.

Sebagai manajer di perusahaan teknologi global, Ikhsan khawatir masa depan industri IT di Indonesia akan memburuk. Ia mengkritik langkah pemerintahan Jokowi yang menurutnya memperlemah pemberantasan korupsi dan memperburuk iklim investasi.

“Saya merasa, kalau tinggal di Indonesia terus, lama-lama bisa dipenjara karena UU ITE,” ungkapnya.

Ikhsan juga menilai politik identitas yang berakar sejak 2014 telah memperdalam polarisasi sosial di Indonesia. Kondisi ini, ditambah dengan kekhawatiran akan kebebasan berpendapat dan iklim usaha, membuatnya serius mempertimbangkan naturalisasi.

Bagi Kevin dan Kris, berpindah kewarganegaraan bukan berarti membenci Indonesia, melainkan upaya untuk mencari kehidupan yang aman dan bermartabat.

“Saya masih yakin, jika dibelah dada saya, masih ada Burung Garuda di situ,” kata Kevin.

Sementara Kris berpendapat, “Nasionalisme itu membela tanah air. Tapi tanah air saya sudah berubah. Indonesia yang saya kangeni sudah tidak ada.”

Fenomena ini mencerminkan tantangan besar bagi Indonesia: bagaimana membangun negara yang inklusif dan melindungi semua warganya tanpa memandang latar belakang agama, etnis, maupun pilihan politik. []

Redaksi11

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com