Danau Eks Tambang Batu Bara di Desa Rempanga Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kaltim.

Transformasi Hukum Pidana Memberantas Kejahatan Pertambangan

Nursiah, S.H., M.H.
(Mahasiswa Doktoral Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)

PERMUKAAN bumi yang sudah berubah menjadi void dan digenangi air, eksistensi tanahnya tentu tidak lagi tersedia, tidak dapat digunakan, difungsikan, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Mengesampingkan unsur tanah musnah sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan di luar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), permukaan bumi yang sudah lagi ada tentu tidak lagi melekat fungsi sosialnya. Dengan begitu, tujuan pokok atas eksistensi permukaan bumi untuk kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya, tidak dapat terwujud. Sebagai bentuk perlindungan hukum, UUPA menegaskan bagi siapa saja yang memiliki hubungan hukum dengan tanah, diwajibkan memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya. Yang tidak melaksanakannya, diancam pidana dengan hukuman kurungan dan denda, meskipun sangat ringan, dipidana kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp10.000.

Persoalan tentu berbeda ketika kerusakan atau musnahnya tanah terjadi akibat suatu tindakan yang legal. Sejak dahulu, bahkan sebelum dibentuknya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), teknik penambangan terbuka (open pit mining) telah ada dan sudah marak. Usaha pertambangan di Indonesia booming pada saat lahirnya kebijakan pertambangan terbuka di tahun 1967, hingga melahirkan sistem pengusahaan Kontrak Karya/KK, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara/PKP2B, dan Kuasa Pertambangan/KP (Redi, 2021). Pada umumnya, usaha pertambangan tersebut memiliki metode tambang terbuka (open pit). Beberapa pemegang PKP2B yang memiliki konsesi sangat luas berada di Kutai Kartanegara, seperti PT Tanito Harum, di tahun 2018, telah mewariskan 69 danau tambang (JATAM, 2019) dan MHU, di tahun 2017, telah melahirkan 56 lubang tambang yang telah digenangi air (pitlake) (Majalah Tempo, 2017).

Untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan, ketentuan untuk mencegah kerusakan lingkungan disisipkan pada peraturan perundang-undangan tentang minerba dan lingkungan hidup. Meskipun begitu, tidak ada satu ketentuan pun dalam peraturan perundang-undangan tentang pertambangan dan lingkungan hidup, baik sebelum maupun sesudah lahirnya UU Minerba dan turunannya, yang mewajibkan penutupan kembali atas bekas galian tambang. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang (PP 78/2010), pemegang IUP/IUPK hanya diwajibkan membuat rencana reklamasi dan pascatambang yang harus disetujui pemerintah atau pemerintah daerah yang memberikan izin, menyediakan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang sesuai rencana, serta wajib merealisasikannya. Desain reklamasi dan pascatambang yang dibuat, tidak harus dengan metode menutup galian tambang (back filling). Sehingga wajar banyak bekas galian tambang dibiarkan terbuka hingga menjadi danau tambang. Rencana reklamasi dan pascatambang cenderung menghindari metode back filling karena beban biayanya sangat tinggi. Sementara lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Perubahan UU Minerba), justru semakin mempertegas tidak adanya kewajiban pemegang IUP/IUPK untuk melaksanakan kegiatan reklamasi dan pascatambang dengan metode back filling terhadap semua void atau bekas galian tambang. Kewajibannya hanya dalam pemenuhan keseimbangan antara lahan yang akan dibuka dan lahan yang direklamasi.

Kelalaian Dalam Reklamasi dan Pascatambang

Di antara beberapa teknik penambangan, open pit adalah metode penambangan yang paling merusak lingkungan. Agar metode penambangan terbuka ini dapat disebut ramah lingkungan, maka reklamasi yang dilakukan adalah dengan metode back filling.  Setelah seluruh bahan tambang dikeluarkan, sisa lubang galian ditimbun kembali dengan tanah yang diambil dari tanah sekitar atau pun dari tanah penutup sebelumnya. Lapisan tanah subsoil ditempatkan di struktur bawah timbunan kembali, dan di bagian atasnya, kembali ditempatkan top soil (Subowo, 2011). Merujuk pada kasus lubang tambang terbengkalai eks tambang CV Sulistia di Desa Rempanga Kecamatan Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur, rencana reklamasi yang dibuat membuat desain yang sama dengan desain tambang terbuka ramah lingkungan, yakni back filling (Nursiah, 2023). Berdasarkan LHP BPK RI Tahun 2012 dan dokumen serah terima kewenangan bidang pertambangan dari Pemkab Kukar ke Pemprov Kaltim, CV Sulistia tercatat hanya pernah menyetorkan jaminan reklamasi Rp94.428.498 pada Rekening Giro Bank Mandiri Nomor 1480004787415, sedangkan jaminan pascatambang nihil (BPK RI, 2013). Setoran itu jaminan reklamasi tersebut dibuat pada tahun 2009, pada awal pelaksanaan kegiatan produksi. Pada tahun tahun berikutnya, tidak ada lagi setoran jaminan reklamasi, bahkan jaminan pascatambang tetap nihil, sampai IUP berakhir di tahun 2013 (Nursiah, 2023).

Fakta tersebut menjadi bukti bahwa Pemkab Kukar selaku pemegang kewenangan pertambangan saat itu, telah lalai dalam memberikan persetujuan dalam perencanaan reklamasi dan pertambangan, dengan argumentasi sebagai berikut: pertama, nilai jaminan reklamasi sangat kecil, tidak sebanding dengan rencana reklamasi yang dibuat CV Sulistia, yakni yang merencanakan melakukan penutupan bekas galian tambang dengan metode backfilling. Kedua, Pemkab Kukar seharusnya melakukan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan reklamasi, apabila berdasarkan kajian teknis nilai jaminan reklamasi yang disetorkan tidak sesuai dan tidak layak, maka harus meminta ke perusahaan tambang untuk menyetorkan dana jaminan reklamasi tambahan. Ketiga, jaminan pascatambang, yang menjamin keberlangsungan pelaksanaan perbaikan lingkungan dan sosial kemasyarakatan di sekitar lokasi tambang setelah seluruh kegiatan pertambangan berakhir, nilainya tetap dibiarkan nihil hingga jangka waktu IUP berakhir.

Dalam Forum Group Discussion (FGD) di Desa Rempanga pada 15 Desember 2021, terungkap bahwa jaminan reklamasi sebesar Rp94 juta yang disetorkan perusahaan, tidak juga dicairkan (Nursiah, 2023). Padahal, kegiatan reklamasi dan pascatambang di galian bekas tambang tidak dilaksanakan perusahaan. Apabila dicairkan, dana jaminan reklamasi tersebut seharusnya dapat digunakan untuk melaksanakan reklamasi melalui pihak ketiga. Hal tersebut jelas diatur pada Pasal 33 PP 78/2010.

Fakta tersebut menjadi kelalaian pertama yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Pemkab) Kukar dalam pelaksanaan reklamasi dan pascatambang. Semasa memiliki kewenangan sebelum dilimpahkan di 2016, setelah Izin Usaha Pertambangan (IUP) CV Sulistia berakhir tahun 2013, Pemkab Kukar sebenarnya dapat menjalankan ketentuan itu, apabila berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan pelaksanaan reklamasi menunjukkan pelaksanaan reklamasi tidak memenuhi kriteria keberhasilan, Bupati Kukar, karena kewenangannya, dapat menetapkan pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan reklamasi sebagian atau seluruhnya dengan menggunakan jaminan reklamasi. Evaluasi dan pemantauan atas laporan pelaksanaan reklamasi yang disampaikan perusahaan pertambangan, seharusnya dilakukan setiap tahun dan dapat dijadikan dasar untuk menetapkan pihak ketiga untuk melaksanakan reklamasi.

Kelalaian ini juga dilakukan Pemprov Kaltim, setelah pelimpahan kewenangannya diterima dari Pemkab Kukar sejak tahun 2016, pencairan jaminan reklamasi CV Sulistia juga tidak dicairkan. Dalam FGD bertajuk Penyelesaian Permasalahan Tambang di akhir 2021, Darlina M, Inspektur Tambang dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia dan Sri Mistiyah selaku Pemeriksa Sektor Sumber Daya Air pada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur, beralasan, hal itu terjadi karena pedoman teknis belum tersedia, juga karena wewenang urusan pertambangan dalam proses pelimpahan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia.

Kelalaian kedua adalah pelaksanaan pengawasan umum dan tidanklanjut pelaporan pelanggaran pidana. Ketentuan terbaru sesuai Perubahan UU Minerba, tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang setelah IUP berakhir merupakan kejahatan dan diancam dengan sanksi penjara dan denda. Pemerintah daerah, baik Pemkab Kukar maupun Pemprov Kaltim, selaku kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, yang pernah memegang kewenangan di bidang pertambangan, seharusnya tidak menutup mata terhadap perusahaan yang abai dalam melaksanakan reklamasi dan pascatambang.

Tanggung Jawab Hukum

Para ahli hukum dan sosial politik (Setiawan, 2018; Sarman dan Makarao, 2012), membagi periode pemerintahan daerah menjadi delapan. Pembagian masa pemerintahan daerah tersebut didasarkan atas norma hukum tentang pemerintahan daerah yang berlaku di masanya, dan berkaitan erat dengan iklim politik yang berjalan. Periode ketujuh berlangsung antara tahun 2004 hingga 2014, di mana daerah, termasuk kabupaten kota banyak diberikan kewenangan untuk mengatur sejumlah urusan, termasuk pertambangan. Kemudian selanjutnya masa pemerintahan daerah pasca tahun 2014 dan berlangsung hingga saat ini. Periode ketujuh pemerintahan daerah mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32/2004) dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (PP No. 38/2007) yang mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Lampiran PP No. 38/2007, di bidang energi dan sumber daya mineral, pemerintah kabupaten/kota di antaranya memiliki wewenang memberikan, mengelola, membina dan mengawasi pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral dan batubara untuk operasi produksi di wilayahnya dan sepertiga dari wilayah kewenangan provinsi. Selain itu, pemerintah kabupaten/kota juga berwenang membina dan mengawasi pelaksanaan reklamasi lahan pasca tambang di daerahnya. Pada UU Minerba, kewenangan itu lebih ditegaskan, bupati/walikota adalah yang berwenang memberikan IUP Produksi. Ketentuan dalam IUP Produksi yang dibuat sedikitnya harus memuat 23 hal, di antaranya adalah tentang dana jaminan reklamasi dan pascatambang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 PP No. 78/2010, bupati/walikota berwenang memberikan persetujuan atas rencana reklamasi dan pascatambang. Rencana reklamasi dan pascatambang itu diajukan pemegang IUP Eksplorasi pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi. Kemudian pada Pasal 29, 30, dan 37, diatur tentang ketentuan pemegang IUP untuk menyediakan jaminan reklamasi dan pascatambang yang besaran nilainya dikalkulasi berdasarkan rencana reklamasi dan pascatambang. Penempatan jaminan reklamasi dan pascatambang dalam bentuk deposito berjangka pada bank pemerintah dengan persetujuan bupati/walikota. Khusus jaminan reklamasi IUP Operasi Produksi, dapat pula ditempatkan pada rekening bersama pada bank pemerintah, bank garansi pada bank pemerintah atau bank swasta nasional; atau cadangan akuntansi. Dalam ketentuan terdahulu sebelum lahirnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan Yang Baik Dan Pengawasan Pertambangan Mineral Dan Batubara, ketentuan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang, deposito berjangka ditempatkan atas nama bupati/walikota qq. perusahaan yang bersangkutan dengan jangka waktu penjaminan sesuai jadwal reklamasi. Sedangkan cadangan akuntansi hanya dapat ditempatkan jika perusahaan pemegang IUP telah terdaftar pada bursa efek dan memiliki modal disetor 25 juta dolar yang telah diaudit akuntan publik. Kewenangan bupati/ walikota lainnya, sebagaimana tercantum pada Pasal 33 PP 78/2010, bupati/ walikota dapat menetapkan pihak ketiga untuk melaksanakan reklamasi sebagian atau seluruhnya menggunakan jaminan reklamasi, apabila berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan pelaksanaan reklamasi menunjukkan pelaksanaan reklamasi tidak memenuhi kriteria keberhasilan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 139 UU Minerba, bupati/ walikota memiliki tanggung jawab (responsibility) untuk melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK. Apabila terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power), pada Pasal 165 UU Minerba, setiap orang yang mengeluarkan IUP yang bertentangan dengan ketentuan dalam UU Minerba, disebutkan, diberi sanksi pidana paling lama dua tahun penjara dan denda paling banyak Rp200 juta. Denda itu merupakan tanggung jawab atas kerugian (liability) yang dialami bagi negara. Namun ketentuan Pasal 165 tersebut dalam Perubahan UU Minerba telah dihapus. Dalam hal pelaksanaan reklamasi, Bupati Kutai Kartanegara juga lalai menjalankan kewenangannya untuk menetapkan pihak ketiga sebagai pelaksana reklamasi pada lahan eks tambang batubara CV Sulistia, dengan menggunakan dana jaminan reklamasi yang tersedia. Padahal perusahaan tersebut secara terang benderang tidak menjalankan reklamasi dengan metode back filling setelah tiga tahun beroperasi sejak izin produksi diberikan tahun 2009. Bahkan pasca terjadi bencana longsor yang menenggelamkan rumah dan harta benda milik warga di sekitar areal pit tambang di tahun 2011, serta adanya longsoran disposal yang merusak rumah dan lahan pertanian di tahun 2013, Bupati Kutai Kartanegara tidak juga membuat keputusan untuk menetapkan pihak ketiga sebagai pelaksana reklamasi. Begitu pula sampai dengan jangka waktu IUP Produksi CV Sulistia berakhir di Bulan Desember 2013 hingga dicabutnya kewenangan pemerintah kabupaten/kota di bidang energi dan sumber daya mineral di tahun 2014, reklamasi tidak juga terlaksana.

Reformulasi Regulasi

Dalam ilmu manajemen (Suprihanto, 2018), pelaksanaan tugas disertai kewenangan melahirkan tanggung jawab. Dalam hukum, tanggung jawab mengarah pada tiga makna, yakni responsibilitas, merupakan tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan seseorang; akuntabilitas, dipanggil untuk bertanggung jawab; dan liabilitas, menyiratkan adanya kerugian yang ditimbulkan orang memiliki tanggung jawab.  Pada saat perjanjian sewa menyewa untuk kegiatan usaha pertambangan di Desa Rempanga berlangsung, kewenangan memberikan IUP berada di tangan Bupati Kutai Kartanegara selaku kepala daerah di tingkat kabupaten/kota. Setelah lahirnya UU 32/2024 dan PP 38/2007, kepala daerah kabupaten dan kota mendapatkan kewenangan untuk memberikan izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayahnya dan sepertiga dari wilayah kewenangan provinsi. Pada tanggal 29 Mei 2008, CV Sulistia mendapatkan izin eksplorasi dan produksi hingga tahun 2013 dan tidak diperpanjang lagi.

Dalam audit BPK RI tahun 2013, disebutkan bahwa proses penerbitan izin pertambangan di Kukar terdapat sejumlah pelanggaran, di antaranya terjadi penyalahgunaan wewenang berkaitan dengan tidak adanya jaminan pascatambang yang disetorkan sebelum izin diberikan, termasuk setoran jaminan pascatambang CV Sulistia tercatat nihil. Sementara jaminan reklamasi yang pernah disetor tahun 2008 totalnya hanya sekitar Rp94 juta. Nilai itu tentu saja tidak sebanding dengan reklamasi dengan metode back filling sebagaimana telah direncanakan CV Sulistia. Tidak selaras pula dengan perhitungan BPK terhadap nilai jaminan reklamasi yang wajib dikenakan untuk reklamasi metode back filling. Berdasarkan kalkulasi (BPK RI, 2021), beban biaya per hektare untuk reklamasi void diperkirakan sebesar Rp1,4 miliar yang dihitung berdasarkan komponen nilai stripping ratio batubara, luas void terbentuk; dan kedalaman lubang tambang terbuka.

Hingga jangka waktu IUP Produksi CV Sulistia berakhir, pelaksanaan reklamasi back filling tidak terjadi dan void berubah menjadi pitlake. Sementara Pemkab Kukar tidak menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan reklamasi menggunakan dana jaminan reklamasi yang pernah disetorkan CV Sulistia. Sampai akhirnya terbit Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan mencabut UU 32/2024, kewenangan pemerintah kabupaten dan kota beralih ke pemerintah provinsi. Pada 15 Agustus 2016, dokumen perizinan, rencana serta jaminan reklamasi dan pascatambang baru diserahkan Pemkab Kukar ke Pemprov Kaltim. Meskipun wewenang sudah berada di tangan Gubernur Kaltim, ternyata penetapan pihak ketiga untuk melaksanakan reklamasi di lahan eks tambang batubara CV Sulistia, juga tidak dilakukan. Padahal, berdasarkan audit BPK RI tahun 2022, Pemprov Kaltim melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) telah mencairkan jaminan kesungguhan, jaminan reklamasi, dan jaminan pascatambang dengan total lebih Rp823,2 miliar berdasarkan persetujuan gubernur pada 11 Desember 2020.

Setelah UU Minerba diubah tahun 2020, kewenangan Pemprov Kaltim untuk urusan pertambangan mineral batubara dicabut dan beralih ke Pemerintah Pusat. Di antara dalam ketentuan-ketentuannya disebutkan bahwa kewenangan pemerintah daerah di bidang pertambangan mineral dan batubara wajib dimaknai sebagai kewenangan pemerintah pusat, kecuali ditentukan lain. Pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah itu berakhir enam bulan setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 atau sejak 10 Juni 2020 hingga 11 Desember 2020. Namun begitu, dokumen pertambangan yang ada di Pemprov Kaltim baru diserahkan ke pemerintah pusat pada tanggal 09 April 2022, itu pun baru sebagian dan pemerintah pusat meskipun telah memiliki wewenang dan punya tanggung jawab karena kewenangannya, tidak berbuat banyak untuk melakukan pengawasan dan mendorong terlaksananya kegiatan reklamasi dan pascatambang di Kaltim, termasuk untuk lokasi eks tambang CV Sulistia di Desa Rempanga.

Berdasarkan hasil uji petik audit BPK RI tahun 2022, ternyata permasalahan di Desa Rempanga juga terjadi di beberapa daerah lain, bahkan skalanya jauh lebih luas. BPK RI membeberkan bukti-bukti terjadinya pelanggaran hukum tentang pertambangan. Pertama, ada perusahaan tambang yang izinnya sudah kedaluwarsa, memiliki jaminan pascatambang namun nilainya tidak sesuai dengan nilai rencana reklamasi dengan metode back filling. Perusahaan itu meninggalkan begitu saja bekas-bekas galian tambang tanpa melakukan reklamasi. Kedua, terdapat perusahaan tambang aktif yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk melakukan back filling dan revegetasi terhadap void yang sudah tidak aktif. Ketiga, adanya penambangan pada area yang tidak memiliki izin dalam area seluas 168,9 hektare, terdiri void seluas 127,81 hektare dan luasan terganggu yang belum direklamasi seluas 41,09 hektare pada rentang waktu tahun 2019 hingga 2021. Atas temuan itu, BPK menyebut persoalan itu terjadi karena Pemprov Kaltim tidak melakukan pengawasan tambang batubara sesuai ketentuan dan tidak melakukan monitoring perizinan perusahaan tambang.

Dari paparan tersebut, dari pemerintah daerah hingga pemerintah pusat sama sekali tidak bertanggung jawab atas permasalahan reklamasi dan pascatambang, khususnya yang terjadi di Desa Rempanga. Untuk itu undang undang tentang minerba harus direformulasi dalam rangka memperjelas dan mempertegas tanggung jawab hukum pemerintah pusat, sebagai pemegang kewenangan, untuk memecahkan persoalan reklamasi dan pascatambang yang sampai saat ini masih belum terselesaikan. Rumusan itu setidaknya mengatur tentang ketentuan-ketentuan: pertama, mewajibkan pemerintah daerah menyelesaikan persoalan reklamasi dan pascatambang yang belum terlaksana sesuai rencana yang timbul sebagai akibat pelaksanaan kebijakannya sewaktu masih memiliki kewenangan; kedua, memberikan jangka waktu penyelesaian persoalan reklamasi dan pascatambang yang timbul sebagai akibat pelaksanaan kebijakannya sewaktu masih memiliki kewenangan; ketiga, memberikan sanksi pidana kurungan dan denda bagi pejabat pemerintah yang lalai melaksanakan kewajibannya menyelesaikan persoalan reklamasi dan pascatambang yang timbul akibat pelaksanaan kebijakannya sewaktu masih memiliki kewenangan; keempat, karena kewenangannya saat ini telah berada di tangan pemerintah pusat, maka juga harus dibebankan tanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan reklamasi dan pascatambang yang tidak terlaksana sesuai rencana. Hukuman pidana kurungan dan denda harus diberikan bagi pejabat pemerintah pusat yang terbukti menyalahgunakan kewenangan atau lalai dalam melaksanakan wewenang tanggung jawabnya; kelima, Pasal 165 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sebagaimana telah dihapus dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 harus dibentuk lagi. Sanksi pidana penjara dan denda perlu ditambah atau disesuaikan dengan nilai kerugian negara; terakhir, reklamasi dan pascatambang bukan saja tanggung jawab perusahaan, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Oleh karena itu, ancaman pidana perlu diberikan bagi pejabat pemerintah yang lalai melaksanakan kewenangannya hingga menyebabkan reklamasi dan pascatambang tidak terlaksana sesuai rencana.

Regulasi tentang minerba sebenarnya sudah dapat digunakan untuk melindungi terjadinya kerusakan lingkungan akibat kegiatan usaha pertambangan, mencegah reklamasi dan pascatambang tidak dilaksanakan. Regulasi itu adalah tentang minerba yang di antaranya memuat sanksi pidana bagi yang tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang, dan yang dengan IUP/IUPK dicabut atau berakhir, tidak melaksanakan reklamasi dan/atau pascatambang, serta tidak menempatkan jaminan reklamasi dan/atau pascatambang, diganjar hukuman maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp100 miliar. Pidana tambahan juga dapat diberikan dalam rangka pelaksanaan kewajiban reklamasi dan/atau pascatambang.  Ancaman pidana itu ditegaskan dalam perubahan UU Minerba, namun implementasinya sampai saat ini penegakan hukum dan peradilan perkara pidana tidak tampak mengemuka. Hingga akhir 2023 lalu, berdasarkan penelusuran dari mesin pencari Google, Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) hingga situs direktori putusan Mahkamah Agung, tidak ditemukan ada informasi terkait penanganan maupun pemeriksaan berkaitan perkara pidana Pasal 161B di perubahan UU Minerba. Padahal faktanya banyak bekas galian tambang yang ditinggal begitu saja tanpa direklamasi, seperti halnya eks tambang CV Sulistia. Temuan BPK RI juga mempertegas adanya bukti-bukti terhadap fakta tersebut.

Persoalan utama untuk mewujudkan perlindungan hukum dan mencegah, serta menyelesaikan masalah kejahatan pertambangan adalah dengan memperkuat penegakan hukumnya. Karena pidana ini bersifat khusus, maka perlu ada aparat penegak hukum yang khusus pula. Inspektur tambang sebagai pihak yang memiliki keahlian khusus dalam penanganan masalah pertambangan dapat diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Mengingat perkara pertambangan adalah perkara yang kompleks dalam masyarakat, berkaitan dengan extraordinary crime, maka perlu dibentuk pengadilan khusus pertambangan. Sehingga dalam hal ini bukan saja undang undang mengenai minerba yang perlu direformulasi, tetapi juga undang undang mengenai kekuasaan kehakiman.

Bibliografi

Redi, Ahmad, dan Luthfi Marfungah. 2021. Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia. Undang: Jurnal Hukum, 4(2), pp.473–506.

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). 2013. Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2012. Samarinda: BPK RI Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur.

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). 2022. Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2021. Samarinda: BPK RI Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur.

Jaringan Tambang (JATAM). 2019. 33 Hari PT. Tanito Harum Ilegal, Saatnya Ambil Alih, Tutup, dan Pulihkan! [online]. Diakses pada 7 Februari 2022, dari https://www.jatam.org

Majalah Tempo, 2017. Investigasi: Kubangan Maut, Siapa Punya? Tempo Institute. Available at: https://blog.tempoinstitute.com/wp-content/uploads/2018/03/4-Investigasi-Kubangan-Maut-Siapa-Punya.pdf [Diakses 22 November 2022].

Nursiah. 2023. Status Hukum Hak Atas Tanah Musnah Akibat Perjanjian Sewa-Menyewa untuk Kegiatan Usaha Pertambangan Batubara. Tesis (Magister Hukum). Samarinda: Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman.

Sarman, dan Mohammad Taufik Makarao. 2012. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta, pp. 13–27.

Setiawan, Irfan. 2018. Handbook Pemerintahan Daerah. Yogyakarta: Wahana Resolusi..

Subowo, G. 2011. Penambangan Sistem Terbuka Ramah Lingkungan dan Upaya Reklamasi Pascatambang Untuk Memperbaiki Kualitas Sumberdaya Lahan dan Hayati Tanah. Jurnal Sumberdaya Lahan, 5(2), pp.84–85.

Suprihanto, John, 2018. Manajemen. Yogyakarta: UGM Press.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com