JAKARTA – Pemerintah Indonesia mengungkapkan ketergantungan tinggi Amerika Serikat (AS) terhadap sejumlah komoditas ekspor nasional dalam putaran pertama perundingan dagang kedua negara. Hal ini disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi dan Investasi Kementerian Koordinator Perekonomian, Edi Prio Pambudi, dalam webinar OJK Institute di Jakarta, Kamis (15/5/2025). Menurutnya, AS mengimpor lebih dari 30% kebutuhan komoditas tertentu dari Indonesia, seperti minyak kelapa sawit, karet alam, dan turunannya, sehingga kesulitan mencari alternatif sumber lain.
“Artinya kalau produk ini tidak diekspor ke AS, mungkin AS juga akan kesulitan untuk mendapatkan alternatif sumber produk ini dari negara lain karena selama ini konsumen AS cukup tinggi bergantung pada beberapa produk Indonesia,” tegas Edi. Pemerintah mencatat 20 komoditas ekspor Indonesia yang berpotensi terdampak kebijakan tarif AS, termasuk asam lemak monokarboksilat industri, minyak kakao, serta kelompok getah alam seperti balata dan guayule.
Edi menegaskan Indonesia tidak ingin kehilangan pasar AS, sambil menekankan pentingnya negosiasi yang adil. “Inilah dasar kita mencari win-win solution. AS tidak boleh kehilangan mitra baik, dan Indonesia harus menjaga kepentingan nasional,” ujarnya. Ia menambahkan, pemerintah aktif menyampaikan proposal dan kebutuhan Indonesia dalam pertemuan dengan pejabat AS, termasuk upaya mencapai kesepakatan saling menguntungkan.
Meski demikian, Edi menolak narasi bahwa Indonesia hanya akan membeli produk AS sebagai imbalan. “Ini bukan berarti Indonesia semata-mata akan membeli produk dari AS, namun mencari solusi agar kepentingan nasional dipahami,” jelasnya.
Data Kemenko Perekonomian menunjukkan, selain komoditas primer, AS juga bergantung pada produk turunan sawit seperti alkohol lemak industri yang banyak digunakan dalam sektor kosmetik dan farmasi. Sementara untuk karet alam, Indonesia menjadi pemasok utama bahan baku industri ban dan otomotif AS.
Pemerintah mengaku terus memantau dinamika kebijakan perdagangan AS, termasuk potensi penerapan tarif yang bisa memukul ekspor. Edi menyebut, tanpa negosiasi strategis, 20 komoditas berisiko kehilangan daya saing harga di pasar AS. “Kami tidak ingin situasi lose-lose. Karena itu, dialog harus berjalan seimbang,” tambahnya.
Perundingan ini menjadi langkah awal untuk memperkuat kemitraan ekonomi kedua negara di tengah ketegangan geopolitik global. Indonesia berharap AS mengakui posisi strategisnya sebagai pemasok komoditas yang sulit tergantikan, sekaligus membuka ruang bagi produk manufaktur Indonesia untuk penetrasi pasar lebih luas.
Sejauh ini, kedua pihak belum mengungkapkan jadwal putaran berikutnya, namun Kemenko Perekonomian memastikan tim teknis terus bekerja merumuskan opsi fleksibel. “Kami optimistis kedua negara bisa menemukan titik temu yang adil, karena ketergantungan ini bersifat timbal balik,” pungkas Edi.[]
Redaksi11