MIDUN (bukan nama sebenarnya), tersenyum sumringah. Namanya masuk dalam daftar calon anggota legislatif (caleg) sebuah partai politik ternama. Pria paruh baya kelahiran Kediri 37 tahun silam ini akan bertarung memperebutkan kursi anggota dewan tingkat II, di salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).
Bagi Midun, ini adalah kesempatan kali kedua dia maju menjadi calon wakil rakyat. Setelah sebelumnya pada Pemilu 2019 dia gagal lolos ke parlemen. Belajar dari pengalaman lima tahun lalu, kini dia lebih matang mempersiapkan diri. Amunisi yang dia andalkan untuk Pemilu 2024 tahun depan adalah uang.
Ya, kegagalan Midun di Pemilu 2019 adalah karena dia tidak memiliki dukungan finansial. Sebagai pemimpin ormas kepemudaan di kabupaten tempat tinggalnya, Midun mungkin cukup dikenal. Sayangnya, waktu itu ia kalah oleh serangan fajar.
Fakta itu yang membuat Midun kini tak hanya menggantungkan harapannya pada ketokohan semata. Baginya, dukungan finansial juga memiliki peran penting guna mendulang suara. Tak perlulah bicara visi dan misi apalagi program yang akan dia lakukan untuk disampaikan kepada masyarakat. Baginya itu semua hanya normatif dan bualan belaka.
Spanduk dan baliho menurutnya jauh lebih penting, ketimbang sosialisasi diri. Demikian juga dengan serangan fajar, untuk memastikan suaranya tak dibeli caleg lain. Untuk urusan pendekatan ke masyarakat, dia delegasikan kepada tim suksesnya. Tim inilah yang kemudian kasak-kusuk melakukan lobi-lobi ke masyarakat, dari kelompok kecil di tingkat RT, desa hingga kelompok yang lebih besar lagi.
Tentu mereka datang tidak dengan tangan kosong. Selain memberikan cemilan atau panganan kecil kepada warga yang datang, tim sukses Midun juga membawa oleh-oleh berupa kaos partai, kartu nama dan stiker bergambar dirinya. Bahkan di kelompok masyarakat tertentu, tim sukses Midun hadir dengan membawa beras, mie instan, minyak goreng, gula dan kopi. Atau sejumlah uang, mulai Rp 25 ribu, Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu.
Untuk membiayai logistik kampanyenya itu, Midun mengestimasikan anggaran hingga Rp 1,2 miliar. Sebagian besar uang itu ia peroleh dari pinjaman. Adapula sponsor dari seorang pengusaha lokal di daerahnya. Sisanya, ia menjual kendaraan roda empat yang sebelumnya menjadi kendaraan operasional ormas yang dipimpinnya.
Midun yakin, anggaran yang ia keluarkan untuk membiayai hajat politiknya itu merupakan sebuah investasi. Dengan kata lain, jika dirinya terpilih nanti, maka biaya-biaya tersebut akan balik modal. Bahkan bisa untung berkali-kali lipat.
Perhitungan Midun tersebut, tak lepas dari pengalaman rekannya yang telah malang melintang duduk sebagai anggota dewan. Menurut sejawatnya itu, banyak celah anggaran yang bisa dimainkan. Mulai dana hibah, dana aspirasi, reses hingga proyek.
Intinya, menjadi caleg jangan takut mengeluarkan uang. Semakin besar uang yang dikeluarkan, maka semakin besar pula peluang untuk bisa menang dan meraih kursi di legislatif. Itu prinsip caleg balik modal yang sekarang dianut Midun. Dan bisa jadi, masih banyak Midun-Midun lain yang kini maju sebagai bakal calon anggota legislatif.
Fenomena ini tak bisa dipungkiri. Namun, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pelaksana Pemilu maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tak bisa begitu saja menjerat oknum caleg yang berprilaku bak pedagang rente ini. Semuanya kembali ke masyarakat, apakah masih mau diiming-iming pemberian yang tak seberapa itu.
Rasanya terlalu mahal nilai yang harus kita bayar, jika caleg-caleg seperti Midun terpilih menjadi anggota dewan. Alih-alih memperjuangkan nasib rakyat yang dia wakilkan, Midun dan kawan-kawannya pasti lebih memilih untuk berjuang mengembalikan modal yang telah ia keluarkan selama kampanye. (*)