Mengapa Takut Dua Putaran ?

Agus P Sarjono

SEJUMLAH lembaga survei memprediksi bahwa pemilihan presiden (pilpres) 2024 akan berlangsung dalam satu putaran. Prediksi tersebut dikemukakan berdasarkan hasil survei yang mereka lakukan mengenai pilihan masyarakat dalam pencoblosan pilpres 14 Februari mendatang.

Dalam survei itu, sebagian lembaga survei menempatkan salah satu pasangan calon (paslon) bakal memperoleh suara hingga 52 persen. Dengan persentase perolehan suara ini, calon presiden (capres) – calon wakil presiden (cawapres) dimaksud akan memenangkan pilpres dalam satu putaran.

Syarat pilpres satu putaran tertuang dalam Pasal 416 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Di mana ketika ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara Pemilu dengan 20 persen suara di setiap provinsi.

“Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia,” bunyi Pasal 416 Ayat (1).

Syarat ini sebenarnya juga diatur dalam Pasal 6A UUD Negara RI Tahun 1945, yakni pasal 6A ayat 3. Jadi jelas, syaratnya harus 50 persen plus satu dari jumlah suara di Pilpres alias menang lebih dari setengah. Kemenangan lebih dari setengah itu harus diraih dengan keberhasilan capres meraup 20 persen suara pada minimal lebih dari setengah dari jumlah provinsi di Indonesia.

Ada 38 provinsi di Indonesia, jadi ‘lebih dari setengah’ provinsi di Indonesia berarti minimal 20 provinsi. Adapun jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 pemilih (sebagaimana data KPU).

Namun, jika tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memenuhi syarat 50 persen dari jumlah suara dalam Pemilu dengan suara minimal 20 persen di separuh jumlah provinsi di Indonesia, maka Pilpres akan dilanjutkan ke putaran kedua.

Pasangan yang akan maju ke putaran kedua adalah pasangan yang menempati peringkat pertama dan kedua. Sementara pasangan pada peringkat ketiga atau dengan perolehan paling bawah otomatis dinyatakan gugur. Berdasarkan Pasal 416 Ayat (2) dan Ayat (4) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

 

HEMAT ANGGARAN

Prediksi lembaga survei tersebut tentu saja disambut gembira oleh kubu yang diperkirakan akan memenangkan pilpres dalam satu putaran. Kebetulan, mereka adalah gerbang yang berada dalam jajaran pemerintahan saat ini.

Mereka optimis menang dari hasil survei. Dan optimisme tersebut terus digaungkan ke segala penjuru. Bahkan dibumbui dengan narasi penghematan anggaran. Alasannya, jika harus dua putaran maka pemerintah harus menyediakan anggaran sekitar Rp27,3 triliun. Bahkan, nilainya bisa lebih jika diakumulasikan dengan pembiayaan lainnya, seperti keamanan.

Ada pula yang menyebut jika pilpres cukup selesai satu putaran, stabilitas nasional akan lebih terjaga sehingga iklim usaha dan investasi tidak terganggu. Laju perekonomian pun, kata mereka, akan dapat diakselerasi lebih cepat.

Harus dikatakan, semua itu adalah klaim dan narasi sesat. Pada poin penghematan anggaran, misalnya, dana Rp27 triliun yang dianggarkan untuk pilpres putaran kedua itu tak sampai 1 persen dari pagu belanja negara pada APBN 2024 yang ditetapkan sebesar Rp3.325,1 triliun.

Lagipula, biaya pemilu putaran kedua sudah dianggarkan sejak awal dan itu menjadi tanggung jawab negara. Lalu, mengapa tiba-tiba sekarang mereka seolah-olah ingin menjadi pahlawan penghematan anggaran? Itu namanya bukan lagi pahlawan kesiangan, melainkan oportunis yang kebablasan.

Untuk negara sebesar dan seluas Indonesia, ongkos pemilu memang sangat mahal dari sisi ekonomi. Namun, inilah ongkos yang berapa pun mahalnya harus dibayar oleh bangsa ini demi tercapainya dan terpeliharanya negara demokratis.

Pemilu dan demokrasi itu ibarat sekeping mata uang. Keduanya tidak bisa dipisahkan karena melalui pemilu yang jujur, adil, bebas, dan bersih itulah antara lain demokrasi ditegakkan.

Kemudian, narasi bahwa pilpres satu putaran lebih ramah dengan iklim usaha dan investasi juga sudah terbantahkan. Kalangan pengusaha nyatanya tidak mempersoalkan pilpres bakal berlangsung satu putaran atau dua putaran.

Pertumbuhan usaha maupun perekonomian di Indonesia bukan akan dipengaruhi oleh seberapa banyak putaran pilpres, melainkan seberapa demokratis pilpres tersebut menghasilkan pemimpin yang betul-betul merupakan pilihan rakyat.

Terpenting bagi kalangan pebisnis dan investor itu ialah bahwa pemimpin pilihan rakyat dari proses pemilu yang demokrastis tadi dapat membentuk pemerintahan yang legitimate, dipercaya, dan pro terhadap bisnis.

Ekonomi otomatis akan bergairah kalau pemilu berjalan sukses, membentuk pemerintahan yang dipercaya dan legitimate, probisnis, serta pro-penciptaan lapangan kerja.

Dengan fakta-fakta, maka makin nyata bahwa narasi-narasi pilpres satu putaran yang gencar diapungkan dan digaungkan kelompok tertentu itu amat tidak relevan, mengada-ada, menyesatkan, sekaligus melawan rasionalitas.

Narasi pilpres satu putaran yang dipaksakan bisa menjadi pintu masuk praktik-praktik culas dan kecurangan. Bila narasi itu terus-menerus didengungkan, padahal kehendak rakyat yang tecermin dari hasil survei menunjukkan dua putaran, akan menggerus legitimasi demokrasi. Maka, memaksakan narasi satu putaran sama dengan membuat noda demokrasi.

Patut diduga ada skenario kotor dibalik kengototan mereka memaksa publik menerima narasi yang penuh manipulasi tersebut. Karena itu, semua pihak terutama publik mesti menguatkan lagi gerakan mengawal dan menjaga pemilu agar skenario-skenario sekotor apa pun, termasuk narasi pemaksaan pilpres satu putaran tidak mendapat ruang untuk berkembang dan kemudian mati tanpa pernah tereksekusi. *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com