NASIONAL – Bola panas sistem pemilihan umum (Pemilu) masih terus bergulir. Publik masih menunggu, putusan apa yang akan diambil Mahkamah Konstitusi (MK), mengingat waktu pelaksanaan Pemilu yang kurang dari setahun lagi. Terlebih, nama-nama bakal calon anggota legislatif (bacaleg) telah didaftarkan partai politik ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang pendaftarannya telah ditutup pada tanggal 14 Mei kemarin.
Pemilu yang menggunakan sistem proporsional terbuka dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, telah digugat. Enam pemohon, yakni Demas Brian Wicaksono yang merupakan kader PDI Perjuangan, lalu Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono, mengajukan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Gugatan yang teregistrasi dengan nomor 114/PPU/XX/2022 itu menyoal Pasal 168 tentang sistem pemilu. Dalam gugatannya, para pemohon meminta MK mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Alasannya, Undang-Undang Pemilu mengatur sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak diduga bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945.
Namun, sejak sidang perdana perkara tersebut digelar pada 23 November 2022 yang lalu, Hakim MK seakan masih kesulitan untuk membuat putusan yang mampu mengakomodasi semua kepentingan dan sesuai kehendak konstitusi. Sebab ada pro dan kontra terkait keputusan tersebut.
Di satu sisi, PDI Perjuangan sebagai partai pemenang Pemilu 2019 mendukung dilaksanakannya sistem proporsional tertutup. Sementara delapan partai lain, yakni Golkar, Gerindra, Demokrat, PKS, Nasdem, PAN, PKB dan PPP menginginkan tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka.
Namun demikian, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia yakin para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) akan berpikir jernih dalam memutus perkara uji materi sistem pemilu legislatif (pileg). Menurut Doli, pada 2008, MK pernah mengambil putusan mengenai sistem pileg.
“Kami enggak ingin berandai-andai. Kami masih yakin sembilan hakim konsitusi masih punya hati nurani, berpikir jernih, obyektif melihat realitas dan menjaga reputasi MK,” ujar Doli kepada awak media di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (5/6/2023).
“Karena putusan ini sudah pernah diambil tahun 2008. MK sudah pernah memutuskan dan waktu itu dijawab proporsional terbuka. Produk pemilu 2009, 2014, 2019 adalah hasil putusan MK tahun 2008,” ujar dia.
Doli kemudian menyampaikan, dalam konteks uji materi sistem pileg kemudian dikaitkan dengan aspirasi delapan parpol di DPR maka sudah ada jutaan suara rakyat yang diwakili. Kemudian, dalam proses uji materi tersebut, ada 17 pihak yang diundang memberi keterangan kepada MK.
“Aspirasi di DPR ada delapan parpol. Kalau dikonversi suara rakyat ada berapa juta. Hanya satu (parpol yang setuju) tertutup. Itu juga mewakili masyarakat berapa juta. Jadi MK pasti mempertimbangkan,” kata Doli.
Menurut politisi Partai Golkar itu, parpolnya meminta agar MK tetap konsisten dengan sistem pileg yang sudah ada, yakni proporsional terbuka. “Kami minta MK tetap konsisten, bahwa gunakan sistem pileg yang eksisting,” kata dia.
Doli pun mengakui bahwa apa yang dikhawatirkan oleh pakar hukum tata negara Denny Indrayana terhadap sistem pileg itu sama dengan yang Golkar khawatirkan. Namun, cara penyampaian kekhawatiran tersebut menurut dia sesuai ekspresi masing-masing.
Sebelumnya, desas-desus bakal dikabulnya gugatan sistem pemilu oleh MK sempat dicuitkan oleh pakar hukum tata negara Denny Indrayana. Dalam unggahan di akun Instagram pribadinya @dennyindryana99, Minggu (28/5/2023), mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM ini mengungkapkan bahwa dirinya mendapat informasi kalau MK bakal memutuskan gugatan Nomor 114/PPU/XX/2022 terkait sistem pemilu dengan putusan proporsional tertutup.
“Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja,” tulis Denny.
Denny mengungkapkan, putusan itu diambil setelah adanya dissenting opinion atau perbedaan pendapat dalam menjatuhkan putusan antara hakim MK. Sayangnya, Denny Indrayana tidak membeberkan identitas sosok yang memberikannya informasi tersebut. Ia hanya memastikan sumbernya kredibel. []
Penyunting : Agus P Sarjono (dari berbagai sumber)