Oleh: Nursiah, Rosmini, Haris Retno Susmiyati
(Universitas Mulawarman Provinsi Kalimantan Timur)
Abstract
The focus of this researh was taken in order to answer two questions, first, to answer the status of rights of land that have been destroyed becomes pitlake due to leases for mining. Second, to answer form of the responsibility of the local government that was negligent in carrying out reclamation and post-mining authorities. The results, rights of the land that have been destroyed due to leases for mining are not erased, because the destruction was intentional, not due to natural. Regional government accountability is civil not criminal but have to give compensation due to acts against the law for negligence in exercising authority.
Keyword: rights of land, lease, mining
Intisari
Karya ilmiah ini ditulis dalam rangka menjawab dua pertanyaan, pertama, mengenai status hak atas tanah yang musnah menjadi danau tambang akibat sewa-menyewa untuk kegiatan usaha pertambangan. Kedua, berkaitan tanggung jawab pemerintah daerah yang lalai dalam melaksanakan kewenangan reklamasi dan pascatambang. Hasil penelitiannya, hak atas tanah yang musnah akibat sewa-menyewa untuk kegiatan usaha pertambangan tidak hapus, sebab musnahnya disengaja, bukan karena peristiwa alam. Pertanggungjawaban pemerintah daerah bersifat perdata bukan pidana, berupa ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum atas kelalaiannya dalam melaksanakan kewenangan.
Kata Kunci: hak atas tanah, sewa menyewa, pertambangan.
Latar Bekalang
Penggunaan dan pemanfaatan permukaan bumi yang telah dilekati Hak Atas Tanah (HAT), baik yang telah didaftarkan pada institusi resmi yang mengurus agraria maupun yang belum didaftarkan, tentu harus mendapatkan persetujuan dari pemegang hak, tidak terkecuali untuk kegiatan usaha pertambangan. Ketentuan dalam peraturan perundang-undanganan tentang pertambangan mineral dan batubara (minerba) mensyaratkan adanya penyelesaian HAT sebelum pelaksanaan produksi. Penjelasan dalam PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara memberikan tiga pilihan, melalui sewa menyewa, jual beli, dan pinjam pakai. Penyelesaian HAT tersebut tentu menimbulkan hubungan hukum yang melahirkan hak keperdataan dari perusahaan pertambangan. Hubungan hukum itu berimplikasi pada status tanah pasca penciutan maupun setelah berakhirnya izin pertambangan. Karena tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang status atau penggunaan tanah pasca penciutan atau berakhirnya izin tambang,[1] sehingga berpotensi menimbulkan permasalahan dan ketidakpastian hukum.
Penyelesaian HAT melalui pola jual beli, permasalahannya terletak pada penegasan atas hak yang timbul akibat peristiwa hukum jual beli pada otorita pertanahan, mengingat penegasan berupa hak milik, HGU, HGB, dan hak pakai memiliki peruntukan dan syarat tertentu untuk diperoleh. Opsi pinjam pakai dan sewa menyewa, bidang tanah yang dikelola dengan cara sewa pakai harus dikembalikan ke pemegang hak. Permasalahannya lebih rumit saat tanah dikembalikan dalam keadaan rusak, tidak subur lagi dan/atau musnah menjadi danau tambang (pitlake).
Secara teori, void yang digenangi air dan menjadi danau tambang merupakan bentuk tanah musnah. Musnahnya tanah terjadi jika obyek tanah tidak lagi dapat diidentifikasi sehingga mengakibatkan hapusnya HAT dan dikuasai langsung oleh negara. Terdapat tiga unsur HAT, yakni subyek tanah, obyek tanah dan hubungan hukum di antara subyek dan obyek. Ketiga unsur tersebut harus secara kumulatif ada, jika satu unsur saja tidak ada, maka tidak ada juga suatu HAT.[2] Hapusnya HAT akibat tanahnya musnah, terjadi dengan sendirinya atau hapus serta-merta.[3] Namun, teori itu belum selaras dengan konstruksi tanah musnah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, rumusannya: (1) terdapat perubahan bentuk asal tanah; (2) disebabkan peristiwa alam; (3) tidak dapat diidentifikasi; (4) tidak dapat difungsikan, digunakan dan dimanfaatkan, (5) terlebih dahulu ditetapkan pemerintah. Merujuk pada rumusan sebab musnahnya tanah, sebab kegiatan tambang tentu tidak termasuk kategori peristiwa alam. Kedua, adanya faktor perikatan perjanjian sewa atau pinjam pakai. Karena perikatan perjanjian bersifat terbuka dan bebas[4], maka klausul untuk ‘melindungi’ kondisi tanah dapat dibuat sesuai kesepakatan, sehingga tanah sewa yang ‘musnah‘ akibat kegiatan usaha pertambangan dapat direhabilitasi oleh pihak penyewa.
Berdasarkan rumusan definisi tanah musnah sebagaimana dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, maka tanah yang berubah bentuk menjadi danau sebagai akibat kegiatan pertambangan dan faktor permeabilitas tanah seharusnya tidak termasuk kategori tanah musnah, sebab perubahannya bukan karena peristiwa alam, melainkan karena tindakan sengaja manusia dalam rangka kegiatan pertambangan. Untuk itu status hak milik yang melekat pada pitlake itu tidak hapus. Namun hal itu menimbulkan persoalan baru, pertama, tanah hak yang menjadi pitlake terbatas pendayagunaannya, yakni hanya sumber daya air, bukan tanah. Sementara sumber daya air dikuasai penuh oleh negara. Pendayagunaan yang paling memungkinkan adalah untuk budidaya perikanan, meskipun berisiko bagi kesehatan manusia. Kedua, terkait perizinan. Karena yang didayagunakan adalah sumber daya air, bukan tanah, maka memerlukan izin khusus. Ketiga, terkait tagging batas penguasaan atau kepemilikan tanah yang kondisinya telah berubah menjadi air. Surat ukur dalam Sertifikat Hak Milik tidak berlaku lagi karena tagging berupa patok-patok batas tanah tidak lagi terpasang. Kondisi tanah yang berubah menjadi pitlake sangat tidak memungkinkan dilakukan tagging sesuai ketentuan peraturan perundangan tentang pendaftaran tanah. Dengan demikian, maka sangat sulit memisahkan batas-batas kepemilikan tanah yang telah menjadi pitlake. Keempat, meskipun kawasan pitlake masih terikat perjanjian sewa menyewa yang suatu saat dapat dirapikan dengan diuruk kembali oleh pihak penyewa, namun kemungkinannya sangat kecil, mengingat biaya kegiatan penimbunan dengan volume galian tambang pada umumnya sangat tinggi.
Contoh kasus tersebut terjadi di Desa Rempanga, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Terdapat kegiatan penambangan oleh CV Sulistia yang berlangsung sejak tahun 2008 hingga 2013, di mana penyelesaian HAT dilakukan dengan sewa menyewa. Setelah IUP berakhir, kegiatan reklamasi dan pascatambang tidak terjadi, galian bekas tambang yang telah berubah menjadi pitlake tidak direstorasi. Padahal dalam salah satu klausul perjanjian, tanah yang disewa diserahkan kembali dan dirapikan sehingga dapat dipergunakan kembali oleh pemiliknya.
Laporan BPK RI memaparkan bahwa jaminan reklamasi CV Sulistia atas IUP seluas 100 hektare di Desa Rempanga dan Desa Sepakat Kecamatan Loa Kulu hanya sekitar Rp94 juta, sedangkan jaminan pascatambang tidak disetor.[5] Laporan tersebut menunjukkan adanya pelanggaran ketentuan tentang reklamasi dan pascatambang, yang mana seharusnya jaminan pascatambang tidak boleh nihil. Ditambah lagi adanya hasil pemeriksaan BPK RI pada tahun 2010 dan 2011 yang menegaskan terjadinya kelalaian pemerintah daerah dalam mengelola dana jaminan reklamasi dan pascatambang,[6] di antaranya mengenai tidak adanya jaminan pascatambang, pemberian persetujuan, penempatan jaminan reklamasi tidak melalui deposito atas nama kepala daerah, dan sebagainya. Nilai jaminan reklamasi, seharusnya dilakukan evaluasi pada saat IUP Produksi CV Sulistia kembali diberikan di tahun 2011. Nilainya pasti tidak akan serupa dengan rencana reklamasi di tahun 2009, karena setiap tahun pasti terjadi eskalasi harga satuan barang dan jasa. Apalagi ada rencana merapikan tanah yang disewa untuk kegiatan tambang. Rencana penatagunaan lahan menjadi bagian dalam rencana reklamasi dalam klasifikasi biaya langsung yang harus diperhitungkan. Sehingga persetujuan atas besaran nilai jaminan reklamasi pada saat CV Sulistia kembali mendapatkan IUP Produksi di tahun 2011 menjadi indikasi adanya kelalaian pemerintah daerah dalam menjalankan kewenangannya. Berkaitan dengan pelaksanaan reklamasi, meskipun pihak perusahaan tidak melaksanakan rencana reklamasi dan rencana pascatambang, pemerintah daerah tidak menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan reklamasi menggunakan dana jaminan reklamasi yang tersedia.. Berdasarkan uraian di atas, penelian ini memuat dua rumusan masalah, pertama, bagaimana status hukum HAT musnah akibat perjanjian sewa-menyewa untuk kegiatan usaha pertambangan? Kedua, bagimana tanggung jawab pemerintah daerah yang lalai dalam melaksanakan kewenangan reklamasi dan pascatambang?
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan menggunakan pendekatan socio legal, menguji norma dan menyandingkannya dengan persepsi pihak berkepentingan. Penelitiannya berlokasi di Kabupaten Kutai Kartanegara, yang terdapat daerah yang terdapat kasus penyelesaian HAT untuk kegiatan usaha pertambangan melalui sewa menyewa dan tanah yang disewakan menjadi danau tambang.
Data penelitian
Kebutuhan data penelitian dalam studi SLR ditentukan oleh kualitas data primer yang diperoleh dari segala informasi dari lapangan. Data primer tersebut diperoleh dari sumber-sumber kredibel dan representatif, yakni pejabat desa, masyarakat setempat, serta pemegang HAT yang berkaitan dengan eksistensi pitlake. Kemudian pihak-pihak yang pernah berada dalam lingkungan badan usaha pemegang IUP/IUPK. Sumber lainnya adalah pemangku kebijakan teknis pada institusi negara yang bersifat vertikal hingga perangkat daerah yang mendapatkan mandat secara teknis dari kepala daerah sesuai dengan kewenangannya. Terhadap sumber-sumber tersebut akan dilakukan wawancara secara mendalam serta diminta dokumen-dokumen sekunder berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dalam rangka melengkapi data dan informasi yang diperoleh untuk kemudian dianalisis dengan pendekatan doctrinal lalu dilakukan konfirmasi ulang.
Pembahasan
- Status Hak Atas Tanah Musnah Untuk Kegiatan Usaha Pertambangan
Dalam konstruksi Kitab Undang Hukum Perdata (KUHPer), tidak disebutkan adanya istilah tanah musnah, namun terdapat ketentuan mengenai obyek sewa yang musnah. Pada Pasal 1553 KUHPer disebutkan bahwa obyek sewa yang musnah mengakibatkan hapusnya persetujuan perjanjian sewa. Itu artinya, perjanjian sewa dengan obyek tanah, yang melahirkan hak sewa atas tanah, juga dapat hapus, apabila obyek tanah yang disewakan musnah. Dalam ketentuan tersebut, terdapat persyaratan, obyek barang musnah sama sekali dan terjadi karena suatu kejadian yang tidak disengaja. Dengan demikian, apabila obyek sewa barang tersebut berupa tanah, maka tanah baru dapat dikatakan musnah apabila obyek tanah yang disewakan musnah seluruhnya, serta disebabkan kejadian tidak disengaja. Kegiatan usaha pertambangan tentu tidak termasuk kategori tidak disengaja, karena kegiatannya memang direncanakan dalam bentuk rencana penambangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA), permukaan bumi merupakan gambaran atas eksistensi tanah. Jika permukaan bumi sudah tidak lagi tersedia atau berubah bentuk menjadi air, maka eksistensi tanah tidak lagi ada. Menurut Sitorus dan Puri, tanah musnah terjadi karena obyek tanah sebagai salah satu unsur HAT tidak lagi ada. Musnahnya tanah dilihat dari sisi obyek, jika obyek yang semula tanah berubah menjadi air, maka tanah musnah dengan sendirinya terjadi. Pengaturan mengenai tanah musnah dalam UUPA memang sangat terbatas, hanya memuat tentang istilah, tidak disertai definisi. Kemudian dalam peraturan perundang-undangan lain di luar UUPA, istilah dengan definisi ada termuat dalam ketentuan umum, konstruksi hukumnya adalah perubahan bentuk dari bentuk asal; karena peristiwa alam; tidak dapat diidentifikasi; tiak dapat difungsikan, digunakan dan dimanfaatkan. Dalam kedua regulasi itu jelas menegaskan bahwa tanah yang musnah akibat kegiatan usaha pertambangan tidak termasuk dalam kategori tanah musnah, karena disebabkan kegiatan yang direncanakan dan disengaja.
Setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dibentuk dan diundangkan, pengaturan mengenai tanah musnah diperluas. Berdasarkan UU Cipta Kerja, dibentuk Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (PP No. 18 Tahun 2021) yang mengatur tanah musnah dalam bagian tersendiri, kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2021 tentang Tanah Musnah (Permen ATR BPN No. 17 Tahun 2021). Dalam ketentuan baru ini, obyek yang hapus tidak disebut secara jelas, namun mengarah pada produk otorita pertanahan. Selaras dengan UUPA, obyek yang dapat hapus karena tanahnya musnah adalah hak milik, HGU, dan HGB. Dalam peraturan perundang-undangan lain, hak pakai, hak milik satuan rumah susun, dan hak pengelolaan juga dapat hapus karena obyek tanahnya musnah.
Terdapat tahapan sebelum ditetapkannya tanah musnah. Pertama, dimulai dari tahap penetapan lokasi. Penetapan lokasi didasarkan atas indikasi dari pemantauan dan evaluasi, serta informasi dan pemberitahuan dari pemerintah dan masyarakat; kedua, pembentukan tim peneliti yang terdiri delapan orang dari unsur kantor pertanahan, pemerintah kabupaten/kota, dan melibatkan kepala desa/lurah. Tim ini dapat dibantu tenaga ahli. Wewenang tim ini di antaranya adalah melakukan sosialisasi, identifikasi, pemeriksaan, rapat koordinasi, hingga pemantauan dan pelaksanaan rekonstruksi atau reklamasi; ketiga, sosialisasi yang dilakukan oleh tim kepada para pemegang hak dan pihak yang berkepentingan, minimal sekali di kantor kepala desa atau lurah di lokasi tanah yang terindikasi musnah; keempat, identifikasi dan inventarisasi dilakukan dengan pemeriksaan lapangan terhadap jenis hak, alas hak, pemilikan atau penguasaan tanah, penggunaan atau pemanfaatan tanah, keadaan tanah terkini, luas tanah yang terindikasi musnah, dan batas bidang tanah. Hasil identifikasi dan inventarisasi kemudian dilakukan pengkajian dengan rapat koordinasi dan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan; kelima, tahap selanjutnya adalah pengumuman oleh Kepala Kantor Pertanahan selama 14 hari, dengan tujuan memberikan prioritas bagi pemegang hak pengelolaan dan HAT untuk melakukan rekonstruksi dan reklamasi; dan terakhir, keenam, jika pemegang hak memilih untuk melakukan rekonstruksi dan reklamasi, maka harus dilakukan paling lama setahun dengan dipantau tim peneliti. Jika pemegang tidak melakukan rekonstruksi dan reklamasi, dan pemerintah yang melakukannya untuk kepentingan umum, maka pemegang hak diberikan bantuan kerohiman dan tanahnya ditetapkan musnah. Setelah tanah musnah ditetapkan, maka hapusnya HAT dan hak pengelolaan ditetapkan dengan keputusan Kepala Kantor Pertanahan.
Penerapan tanah musnah pada otorita pertanahan tentu berpegang pada regulasi teknis tersebut, namun eksistensinya tidak dapat menjawab secara tegas berkaitan tanah yang musnah sebagai akibat kegiatan pertambangan. Sumber dari otorita pertanahan memiliki pandangan berbeda-beda, ada yang mengemukakan bahwa void disebabkan kegiatan atau ulah manusia. Namun demikian, jika terdapat HAT di kawasan void atau pitlake, penghapusan hak bisa menjadi pertimbangan. HAT yang dimaksud adalah hak milik, HGB, HGU, dan Hak Pakai, yang menjadi produk otorita pertanahan, tidak termasuk hak membuka tanah dan hak derivatif. Tanah yang dilekati hak produk otorita pertanahan, meskipun telah berubah menjadi void atau pitlake, masih berlaku karena tidak dikategorikan tanah musnah. Sebaliknya bila tanah tersebut belum dilekati hak produk otorita pertanahan, masuk kategori tanah musnah.
- Tanggung Jawab Hukum Pemerintah Daerah
Para ahli hukum dan sosial politik, di antaranya Setiawan[7], serta Sarman dan Makarao[8], membagi periode pemerintahan daerah menjadi delapan. Pembagian masa pemerintahan daerah tersebut didasarkan atas norma hukum tentang pemerintahan daerah yang berlaku di masanya, dan berkaitan erat dengan iklim politik yang berjalan. Periode ketujuh berlangsung antara tahun 2004 hingga 2014, di mana daerah, termasuk kabupaten kota banyak diberikan kewenangan untuk mengatur sejumlah urusan, termasuk pertambangan. Kemudian selanjutnya masa pemerintahan daerah pasca tahun 2014 dan berlangsung hingga saat ini. Periode ketujuh pemerintahan daerah mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yang mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Berdasarkan Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, di bidang energi dan sumber daya mineral, pemerintah kabupaten/kota di antaranya memiliki wewenang memberikan, mengelola, membina dan mengawasi pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral dan batu bara untuk operasi produksi di wilayahnya dan sepertiga dari wilayah kewenangan provinsi. Selain itu, pemerintah kabupaten/kota juga berwenang membina dan mengawasi pelaksanaan reklamasi lahan pasca tambang di daerahnya. Pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 kewenangan itu lebih ditegaskan, bupati/walikota adalah yang berwenang memberikan IUP Produksi. Ketentuan dalam IUP Produksi yang dibuat sedikitnya harus memuat 23 hal, di antaranya adalah tentang dana jaminan reklamasi dan pascatambang.
Dalam konteks kasus tanah musnah akibat perjanjian sewa menyewa untuk kegiatan usaha pertambangan di Desa Rempanga, yang dirugikan bukan saja negara, tetapi juga para pemegang HAT. Merujuk pada teori tanggung jawab hukum, karena kewenangan yang dimilikinya, pemerintah daerah turut memiliki tanggung jawab untuk mengganti rugi akibat musnahnya tanah untuk kegiatan usaha pertambangan, bukan saja perusahaan tambang selaku pihak yang mengikat perjanjian sewa dengan pemegang HAT. Bupati Kutai Kartanegara dapat dinilai telah menyalahgunakan kewenangannya (abuse of power) atau lalai dalam menjalankan kewenangannya (negligent of power) dalam penerbitan IUP Produksi tanpa disertai jaminan pascatambang. Selain itu juga terdapat unsur kelalaian dalam memberikan penilaian dan persetujuan atas besaran jaminan reklamasi berdasarkan rencana reklamasi yang telah dibuat CV Sulistia. Berdasarkan dokumen studi kelayakan CV Sulistia, metode reklamasi back filling tidak sebanding dengan jaminan reklamasi sebesar Rp94.428.498 sebagaimana dilaporkan BPK RI tahun 2012. Bupati bahkan kembali memperpanjang izin produksinya di tahun 2011, tanpa membebankan kewajiban penempatan jaminan reklamasi tambahan dan jaminan pascatambang.
Dalam hal pelaksanaan reklamasi, Bupati Kutai Kartanegara juga lalai menjalankan kewenangannya untuk menetapkan pihak ketiga sebagai pelaksana reklamasi pada lahan eks tambang batu bara CV Sulistia, dengan menggunakan dana jaminan reklamasi yang tersedia. Padahal perusahaan tersebut secara terang benderang tidak menjalankan reklamasi dengan metode back filling setelah tiga tahun beroperasi sejak izin produksi diberikan tahun 2009. Bahkan pasca terjadi bencana longsor yang menenggelamkan rumah dan harta benda milik warga di sekitar areal pit tambang di tahun 2011, serta adanya longsoran disposal yang merusak rumah dan lahan pertanian di tahun 2013, Bupati Kutai Kartanegara tidak juga membuat keputusan untuk menetapkan pihak ketiga sebagai pelaksana reklamasi. Begitu pula sampai dengan jangka waktu IUP Produksi CV Sulistia berakhir di Bulan Desember 2013 hingga dicabutnya kewenangan pemerintah kabupaten/kota di bidang energi dan sumber daya mineral di tahun 2014, reklamasi tidak juga terlaksana.
Kebijakan Bupati Kutai Kartanegara yang memberikan izin produksi bagi CV Sulistia dengan nilai jaminan reklamasi yang tidak memadai, serta dengan jaminan pascatambang yang nihil, merupakan perbuatan melawan hukum sesuai ketentuan Pasal 1365 KUHPer, yakni setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul dari kesalahannya tersebut. Mengacu pada Pasal 1246 KUHPer, kerugian yang menjadi tanggung jawab Bupati Kutai Kartanegara dapat mencakup biaya, rugi dan bunga, berupa (1) lerugian yang timbul akibat biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperjuangkan hak; (2) kerugian akibat HAT yang musnah dengan opsi liabilita; (3) kerugian ekspektasi atau lost of opportunity (kehilangan peluang memperoleh keuntungan); (4) kerugian immateriil berupa rasa khawatir dan rasa takut akan timbulnya bencana sebagai dampak musnahnya tanah karena kegiatan usaha pertambangan; dan (5) kerugian immateriil lain yang pasti diderita para pemegang HAT yang tanahnya musnah akibat kegiatan usaha pertambangan adalah kerugian psikologis yang timbul akibat dikecewakan.
Kesimpulan
Danau yang terbentuk dari kegiatan usaha pertambangan yang terencana dan disengaja dan bukan terbentuk karena peristiwa alam, tidak termasuk dalam obyek tanah musnah, sehingga tidak menghapuskan HAT apapun yang melekat di atasnya. Hak membuka tanah dan hak keperdataannya, juga bukan merupakan obyek tanah yang dapat hapus karena tanah musnah menurut UUPA. Meskipun hak itu tidak hapus, namun tidak dapat diberikan penegasan pada badan pemegang otorita pertanahan karena persoalan identifikasi dan penandaan sesuai ketentuan peraturan pelaksanaan tentang pendaftaran tanah.
Pertanggungjawaban pemerintah daerah terhadap pengabaian kewajiban perusahaan tambang batu bara untuk menyetor dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang yang berdampak pada tanah musnah akibat tambang batu bara tidak dilakukan penutupan lahan adalah bersifat perdata dan bukan pidana. Pertanggungjawaban perdata tersebut adalah ganti rugi yang diberikan kepada pihak-pihak yang dirugikan akibat perbuatan melawan hukum yang mengabaikan kewajiban perusahaan tambang batu bara menyetorkan dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Christopher Kendrick, dkk. Juli-Desember 2020. Pertanggungjawaban Pemerintah Republik Indonesia Terhadap Hilangnya HAT Milik Warga Masyarakat Yang Terkena Abrasi di Wilayah Kabupaten Brebes Jawa Tengah, Cepalo, Vol. 4, No. 2.
Amalia, Nanda. 2012. Hukum Perikatan, Unimal Pressh, Lhoksemawe, 2012.
Anton Septian, et. al. 17 Mei 2014. Kubangan Maut Siapa Punya, Investigasi Tempo.
Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press.
Barkatullah, Abdul Halim, dan Dadang Abdullah. September-Desember 2016. Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Menjaga Kualitas Likungan di Wilayah Penambangan, Al’adl, Vol. VIII, No. 3.
Bertea, Stefano. 2008. Toward A New Paradigm of Legal Certainty, Legisprudence 2.
Bogenhold, Dieter. Januari 2009. Maslow’s Hieararchy of Needs, Alpen-Adria-Universitat Klagenfurt.
Butar, Franky Butar. Mei-Agustus 2010. Penegakan Hukum Lingkungan di Bidang Pertambangan, Yuridika. Vol. 25, No. 2.
Chandra, Jerico Lavian. 2020. Tindak Pidana Illegal Mining Bagi Perusahaan Yang Melakukan Pertambangan Tanpa Izin, Tesis Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan.
Cherneva Boyka Ivaylova. 2017. Legal Security as a Principle in Lawmaking, Globalization, the State and the Individual, No. 2.
Christiana Tri Budhayati. Januari 2009. Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Hukum Perjanjian Indonesia, Jurnal Widya Sari, Vol. 10, No.3.
Clausen, Fabian. March 2011. Property Right Theory and the Reform of Artisanal and Small-Scale Mining in Developing Countries, Journal of Politics and Law, Vol. 4, No. 1.
Cornock, Marc. April 2011. Legal Definition of Responsibility, Acoountability and Liability, Nursing Children and Young People, Vol. 23, No. 3.
Dariah, Ai., et. al. Juli 2010. Reklamasi Lahan Eks Penambangan Untuk Perluasan Areal Pertanian, Jurnal Sumberdaya Lahan, Vol. 4, No. 1.
Dear, Dianne. 2017. Kedudukan Hukum Izin Membuka Tanah Negara Dalam Pendaftaran Tanah, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
Dharma, Agustinus Danan Suka. Juli-Desember 2015. Keberadaan Pengaturan Batas Usia Dewasa Seseorang Untuk Melakukan Perbuatan Hukum Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Jurnal Repertorium, Volume II, No. 2.
Ellisa, Diah Astri. 2019. Status HAT Pasca Likuifaksi di Kota Palu, Tesis, Universitas Airlangga, Surabaya.
Harsono, Boedi. 2015. Hukum Agraria Indonesia, Jilid I, Universitas Trisakti, Jakarta.
Harun, Muhammad. 2019. Philoshopical Study of Hans Kelsen’s Thoughts on Law and Satjipto Rahardjo’s on Progressive Law, Walisongo Law Review, Vol. 1, No. 2, 2019.
Ismi, Hayatul. Februari-Juli 2014, HAT Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Mineral dan Batu Bara, Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Riau Vol. 4 No. 2.
Jansen, Nils. May 2013. The Idea of Legal Responsibility, Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 34.
Jaringan Tambang. 23 Juli 2019. 33 Hari PT. Tanito Harum Ilegal, Saatnya Ambil Alih, Tutup, dan Pulihkan!. Diakses melalui https://www.jatam.org pada 07 Februari 2022.
Julianto, Didik. 21 Oktober 2011. Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2010 Nomor 30.A/LHP/XIX.SMD/X/2011, Buku I, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Samarinda.
Julianto, Didik. 21 Oktober 2011. Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2010 Nomor 30.B/LHP/XIX.SMD/X/2011, Buku II, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Samarinda.
Leawoods, Heather. Januari 2000. Gustav Radbruch: An Extraordinary Legal Philosopher, Washington University Journal of Law and Policy.
- Tjoanda. Bulan Oktober-Desember 2010. Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jurnal Sasi, Vol. 16, No. 4.
McCullough, Cherie D., etc. February 2020. Realizing Beneficial End Uses From Abandoned Pit Lakes, Minerals, Vol. 10.
Mufidah, N. Zakiyyatul, dan Miftachur R. Habibi. 2019. Konsep Ecocracy Sebagai Perlindungan Hukum Lingkungan Terhadap Pelanggaran Reklamasi Pasca Penambangan, Simposium Hukum Indonesia, Vol. 1, No. 1.
Pekol, Alexander. 2019. Evaluation and Risk Analysis of Open-Pit Mining Operation, Berg Huettenmaenn Monatsh, Vol. 164 (6), 2019.
Pradnyani, Ni Nyoman Ayu Ratih. 2019. Tanggung Jawab Hukum Dalam Penolakan Pasien Jaminan Kesehatan, Scopindo, Surabaya.
Rahmi, Elita. September 2010. Eksistensi Hak Pengelolaan Atas Tanah dan Realitas Pembangunan Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Vo. 10, No. 3.
Redi, Ahmad, et. Al. 2021. Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batu Bara di Indonesia, Jurnal Hukum, Vol. 4, NO. 2, 2021.
Sari, Indah. 2017. Hak-HAT Dalam Sistem Hukum Pertanahan di Indonesia Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, Jurnal Mitra Manajemen, Vol. 9, No. 1.
Sembiring, Julius. 2018. Pengertian, Pengaturan, dan Permasalahan Tanah Negara, Kencana, edisi revisi, cet. II, Jakarta.
Sembiring, Julius. Juni 2011. Tanah Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum, Mimbar Hukum, Vol. 23, No. 2.
Sembiring, Julius. November 2016. Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria, Bhumi, Vol.2, No.2.
Sitorus, Oloan dan Widhiana H Puri. 2014. Hukum Tanah, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta, 2014.
Sitorus, Oloan. Mei 2016. Penataan Hubungan Hukum Dalam Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Sumber Daya Agraria, Bhumi, Vol. 2 No. 1.
Soesangobeng, Herman. 2012. Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan dan Agraria, STPN Press, Yogyakarta.
Subowo G. Desember 2011. Penambangan Sistem Terbuka Ramah Lingkungan dan Upaya Reklamasi Pascatambang Untuk Memperbaiki Kualitas Sumberdaya Lahan dan Hayati Tanah, Jurnal Sumberdaya Lahan, Vol. 5, No. 2.
Sudarman, Senthot, dkk. 2012. Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21, Hasil Penelitian Sistematis, Sekolah Ilmu Pertanahan Nasional, Yogyakarta.
Susmiyati, Haris Retno. 2020. Hukum Sumber Daya Alam: Menelisik Utilitas Tambang Batu Bara di Kawasan Hutan, Intelegensia Media, Malang.
Taylor Jr, T. Wardlaw. May 1989. The Law and Responsibility, The Philosophical Review, Duke University Press, Vol. 7, No. 3.
[1] Julius Sembiring, Pengertian, Pengaturan, dan Permasalahan Tanah Negara, Kencana, edisi revisi, cet. II, Jakarta, 2018, h. 70-71.
[2] Oloan Sitorus dan Widhiana H Puri, Hukum Tanah, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta, 2014, p. 71.
[3] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid I, Universitas Trisakti, Jakarta, 2015, h. 340.
[4] Christiana Tri Budhayati, Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Hukum Perjanjian Indonesia, Jurnal Widya Sari, Vol. 10, No.3, Januari 2009, h.236-237. h. 21.
[5] Muhamad Toha Arafat, Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2011 Nomor 41.A/LHP/XIX.SMD/VII/2012, Buku II, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 8 Juli 2012, h. L1-51.
[6] Didik Julianto, Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2010, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Nomor 30.A/LHP/XIX.SMD/X/2011, 21 Oktober 2011, h. 69-72; dan Muhamad Toha Arafat, Op.Cit., h. 91-100.
[7] Irfan Setiawan, Handbook Pemerintahan Daerah, Wahana Resolusi, Yogyakarta, 2018, h.57-78.
[8] Sarman dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2012, h.13-27.