MK Tolak Permohonan, Tak Ada Pilihan ‘Tanpa Agama’ di KTP

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini menolak permohonan pengujian terhadap kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) yang diajukan oleh dua pemohon, Raymond Kamil dan Indra Syahputra.

Kedua pemohon tersebut menginginkan adanya opsi “tidak beragama” dalam data kependudukan, yang selama ini hanya mencakup pilihan agama-agama yang diakui negara.

Dalam permohonannya, Raymond dan Indra mengajukan pengujian terhadap Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Mereka menganggap bahwa kewajiban mencantumkan agama dalam dokumen kependudukan memaksa mereka untuk menyatakan beragama, padahal mereka tidak memeluk agama atau kepercayaan tertentu.

Pemohon berpendapat, hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusional mereka, khususnya terkait kebebasan beragama yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Menurut para pemohon, pemaksaan ini menyebabkan mereka untuk berbohong demi memenuhi ketentuan administrasi, sehingga mereka merasa hak konstitusional mereka terlanggar. Salah satu pemohon bahkan menyatakan bahwa ia mengalami kesulitan ketika berusaha menikah, karena untuk melanjutkan proses tersebut, ia dipaksa mengisi kolom agama dengan agama yang tidak ia anut.

“Pada kenyataannya tidak memeluk salah satu dari tujuh pilihan dan yang tidak beragama dipaksa keadaan untuk berbohong atau tidak dilayani,” ujar Pendamping para Pemohon, Teguh Sugiharto, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 146/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.

Selain itu, pemohon juga mengaku ditolak oleh Dinas Pendidikan untuk tidak mengikuti pendidikan agama di sekolah, meskipun mereka tidak memeluk agama apapun.

Namun, dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, majelis hakim menilai bahwa ketentuan yang ada tidak bertentangan dengan konstitusi. Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia memang diwajibkan untuk menyatakan agama atau kepercayaan yang mereka anut dalam dokumen kependudukan.

Pembatasan tersebut dianggap sebagai bagian dari kewajiban negara untuk menghormati dan melindungi kehidupan beragama di Indonesia, yang sudah diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan bahwa pembatasan ini bersifat proporsional dan tidak opresif.

“Pembatasan yang demikian merupakan pembatasan yang proporsional dan tidak diterapkan secara opresif dan sewenang-wenang,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

Setiap warga negara hanya diwajibkan mencatatkan agama atau kepercayaan yang mereka anut, namun tidak ada kewajiban hukum lain yang berkaitan dengan agama tersebut, kecuali kewajiban untuk menghormati prinsip-prinsip yang ada dalam UUD 1945.

MK juga menegaskan bahwa tidak beragama atau tidak menganut agama apapun tidak dapat dianggap sebagai kebebasan beragama atau kebebasan dalam memilih kepercayaan, mengingat hal tersebut bertentangan dengan ideologi bangsa yang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, dalil para pemohon yang menganggap Pasal 61 dan Pasal 64 UU Administrasi Kependudukan inkonstitusional, ditolak oleh MK.

Putusan ini menegaskan bahwa kewajiban untuk mencantumkan agama dalam dokumen kependudukan tetap berlaku, sesuai dengan pengaturan yang ada dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia. []

Redaksi03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com