Koperasi Merah Putih, Momen Menata Ulang Koperasi dari Akar

Oleh Muhammad Yusuf

Dalam setiap proses pendirian koperasi, perhatian masyarakat umumnya tertuju pada tiga hal utama: modal awal, jenis usaha yang akan dijalankan, dan aspek legalitas atau perizinan. Ketiga aspek ini memang penting, namun sering kali luput dari perhatian satu aspek yang tidak kalah krusial—yakni struktur organisasi koperasi. Padahal, tanpa struktur yang kuat dan fungsional, koperasi ibarat bangunan tanpa fondasi. Cepat atau lambat, bangunan itu akan roboh. Pertanyaan mendasar seperti: siapa yang memimpin koperasi? Siapa yang mengawasi? Bagaimana mencegah dominasi segelintir orang atau kelompok?—seharusnya menjadi bagian utama dalam perencanaan koperasi. Struktur organisasi bukanlah formalitas administratif belaka, melainkan kerangka kerja yang menjamin partisipasi anggota, mencegah penyalahgunaan wewenang, dan memastikan keberlanjutan kelembagaan.

Melalui program Koperasi Desa Merah Putih, pemerintah berupaya menawarkan pendekatan baru yang lebih sistematis dan kontekstual. Program ini tidak sekadar mendorong berdirinya koperasi di desa-desa, tetapi juga menyuntikkan nilai-nilai tata kelola yang sehat dan partisipatif. Salah satu pendekatan uniknya adalah melibatkan kepala desa secara langsung sebagai pengawas koperasi melalui mekanisme ex-officio. Artinya, kepala desa secara otomatis menjabat sebagai Ketua Pengawas Koperasi Merah Putih di wilayahnya. Langkah ini dilakukan bukan tanpa alasan. Dalam banyak kasus, koperasi desa kolaps bukan karena usahanya tidak menguntungkan, tetapi karena lemahnya pengawasan dan pengelolaan yang tertutup. Melibatkan kepala desa diharapkan dapat memperkuat fungsi pengawasan, menyelaraskan agenda koperasi dengan rencana pembangunan desa, dan menjamin bahwa koperasi tidak keluar dari tujuan awalnya sebagai lembaga ekonomi berbasis anggota.

Struktur koperasi sendiri secara ideal terdiri atas tiga elemen utama: Rapat Anggota, Pengurus, dan Pengawas. Rapat Anggota merupakan forum tertinggi, ibarat parlemen dalam sistem demokrasi. Di sinilah anggota koperasi menyampaikan pendapat, mengevaluasi laporan tahunan, memilih dan memberhentikan pengurus, serta menyepakati rencana kerja ke depan. Tidak ada keputusan strategis yang dapat diambil tanpa persetujuan rapat anggota. Sayangnya, banyak koperasi di akar rumput yang hanya menjalankan Rapat Anggota Tahunan (RAT) sebagai formalitas. Risalah rapat dibuat sekadarnya, keputusan ditentukan segelintir orang, dan aspirasi anggota nyaris tak terdengar.

Selanjutnya adalah struktur pengurus. Mereka dipilih melalui mekanisme RAT dan terdiri dari tiga hingga lima orang. Pengurus bertugas menjalankan operasional koperasi sehari-hari, mulai dari pengelolaan simpan pinjam, pencatatan keuangan, hingga penyusunan laporan tahunan. Di sinilah peran profesionalisme menjadi sangat penting. Koperasi bukanlah tempat latihan atau magang bagi orang yang tidak siap mengelola lembaga keuangan. Kesalahan pengelolaan, bahkan yang bersifat administratif, dapat berdampak fatal. Oleh karena itu, program Merah Putih juga memberikan pelatihan dan pendampingan rutin kepada pengurus, agar mereka memiliki kompetensi yang memadai, baik dalam akuntansi dasar, manajemen risiko, hingga pengelolaan SDM.

Komponen ketiga yang tak kalah pentingnya adalah pengawas. Dalam banyak koperasi kecil, peran pengawas sering kali diremehkan atau bahkan ditiadakan. Padahal, pengawas berfungsi sebagai pengontrol internal, memastikan bahwa pengurus bekerja sesuai dengan keputusan Rapat Anggota dan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip koperasi. Tanpa pengawasan yang aktif, koperasi rentan mengalami kebocoran keuangan, manipulasi laporan, atau konflik kepentingan. Di sinilah pentingnya keberadaan kepala desa sebagai pengawas ex-officio dalam Koperasi Merah Putih. Kepala desa, dengan posisinya sebagai pemimpin wilayah sekaligus tokoh sentral masyarakat, diharapkan dapat memberikan legitimasi, pengawasan aktif, serta menjembatani komunikasi antara koperasi dengan perangkat desa.

Namun demikian, keberadaan struktur organisasi yang lengkap belum cukup jika tidak ditopang oleh prinsip-prinsip tata kelola yang sehat. Ada tiga prinsip penting yang menjadi pilar dalam pengelolaan koperasi yang baik. Pertama adalah menghindari nepotisme. Program Koperasi Merah Putih secara tegas melarang adanya hubungan keluarga antara pengurus dan pengawas. Tujuannya adalah mencegah terjadinya konflik kepentingan dan menjauhkan koperasi dari praktik-praktik kroniisme yang selama ini menjadi penyakit laten di banyak lembaga ekonomi desa. Koperasi harus menjadi ruang kolektif, bukan usaha keluarga yang disamarkan.

Prinsip kedua adalah transparansi dan akuntabilitas. Setiap anggota koperasi berhak mengetahui kondisi keuangan koperasi secara terbuka. Informasi seperti jumlah saldo kas, daftar peminjam, margin keuntungan, dan hasil audit tahunan harus dapat diakses oleh seluruh anggota. Transparansi ini tidak hanya membangun kepercayaan, tetapi juga meningkatkan partisipasi. Ketika anggota merasa dilibatkan dan dihargai, mereka akan lebih bertanggung jawab dalam menjalankan kewajiban, baik sebagai peminjam, penyimpan, maupun pengawas informal.

Prinsip ketiga adalah profesionalisme. Banyak koperasi yang runtuh bukan karena niat jahat, tetapi karena dikelola secara serampangan. Pengurus yang tidak memiliki kemampuan administrasi dasar, pencatatan yang kacau, atau sistem pelaporan yang tidak konsisten adalah sumber masalah. Dalam konteks ini, pendampingan dari pihak luar seperti dinas koperasi, LSM, atau fasilitator desa sangat diperlukan. Program Merah Putih mencoba menjawab kebutuhan ini dengan menyediakan pelatihan berkala, perangkat administrasi standar, serta aplikasi manajemen sederhana yang dapat digunakan oleh koperasi-koperasi pemula.

Sebagai pendamping komunitas, saya kerap menemukan koperasi desa yang kolaps akibat pengelolaan tertutup dan minimnya keterlibatan anggota. Dalam banyak kasus, struktur organisasi yang tampak ideal di atas kertas tidak menjamin keberhasilan di lapangan. Anggota hanya dijadikan formalitas, sementara keputusan penting dibuat oleh segelintir elite internal. Tanpa partisipasi aktif dan pengawasan kolektif, koperasi mudah sekali tergelincir menjadi alat kepentingan kelompok tertentu. Dalam situasi seperti ini, peran kepala desa sebagai pengawas menjadi krusial. Namun peran itu tidak boleh dijalankan hanya sebagai pelengkap administrasi. Kepala desa perlu memahami tugas pengawasan secara substantif, aktif membaca laporan, meminta klarifikasi, bahkan berani mengambil tindakan jika ditemukan pelanggaran.

Struktur organisasi yang baik adalah penjaga kepercayaan kolektif. Dalam konteks Koperasi Merah Putih, struktur yang terdiri dari anggota aktif, pengurus profesional, dan pengawas yang berintegritas harus berjalan secara sinergis. Pengawasan bukan hanya tugas pengawas formal, tetapi juga budaya organisasi yang ditanamkan kepada semua anggota. Keputusan tidak diambil secara sepihak, tetapi melalui mekanisme musyawarah dan evaluasi berkala. Hal inilah yang membedakan koperasi sejati dari badan usaha biasa. Koperasi bukan hanya wadah ekonomi, tetapi juga cerminan dari nilai-nilai demokrasi, keadilan sosial, dan gotong royong.

Jika semua komponen ini dijalankan dengan konsisten, koperasi desa tidak hanya akan bertahan, tetapi juga tumbuh sebagai kekuatan ekonomi lokal yang mandiri. Lebih dari itu, koperasi bisa menjadi sekolah demokrasi yang mengajarkan masyarakat tentang pentingnya tanggung jawab kolektif, keterbukaan, dan semangat saling menguatkan. Dengan komitmen kolektif dan kepemimpinan yang melayani, koperasi desa akan memainkan peran strategis dalam mewujudkan visi pembangunan yang inklusif, berkelanjutan, dan berakar kuat di komunitas akar rumput. []

* Penulis adalah pegiat desa, mantan pendamping desa, yang saat ini konsen melakukan penelitian tentang hukum dan perdesaan di Kukar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com