Perpustakaan Nasional (Perpusnas) menggelar kelas penulisan aksara Nusantara sebagai upaya memperkenalkan serta melestarikan kekayaan budaya Indonesia, khususnya aksara daerah. Program ini menjadi salah satu bentuk komitmen Perpusnas dalam membuka akses masyarakat terhadap warisan literasi leluhur melalui pengenalan langsung terhadap aksara-aksara tradisional, seperti Jawa, Jawi, Batak, Bali, dan Bugis.
Kegiatan ini berlangsung secara tatap muka di Bangunan Cagar Budaya (BCB) Graha Literasi milik Perpusnas. Sejak dimulai pada Februari, antusiasme masyarakat cukup tinggi, terlihat dari jumlah peserta yang terus mendaftar setiap minggunya. Program ini diadakan setiap akhir pekan, memberi kesempatan bagi masyarakat untuk menikmati akhir pekan dengan kegiatan edukatif yang menyenangkan.
Aditya Gunawan, Ketua Kelompok Kerja Pengelola Naskah Nusantara di Perpusnas, menjelaskan bahwa Perpusnas saat ini memiliki ribuan naskah kuno yang ditulis dalam aksara daerah. Keberadaan naskah-naskah tersebut tidak hanya dilestarikan secara fisik, tetapi juga dihidupkan kembali melalui kelas aksara yang mempertemukan masyarakat dengan bentuk pengetahuan yang sempat terpinggirkan.
“Karena naskah kuno ditulis menggunakan aksara daerah maka perlu ada pengenalan dengan aksara tersebut,” ujarnya saat ditemui di Perpusnas pada Jumat (16/5).
Aditya mengungkapkan bahwa setiap kelas dibatasi hanya untuk 20 hingga 25 peserta, agar pembelajaran berlangsung lebih efektif dan fokus. Setiap akhir pekan, kelas aksara dibuka untuk aksara yang berbeda secara bergiliran, dari Jawa hingga Bugis, dengan pengajar yang ahli di bidangnya. Pembelajaran dilakukan secara langsung karena interaksi di dalam kelas dianggap memberikan pengalaman yang tidak tergantikan dibandingkan dengan pembelajaran daring.
“Karena menikmati weekend sambil belajar dan itu secara langsung ya bukan secara daring karena memberikan pengalaman di kelas tidak tergantikan,” tambahnya.
Aditya merasa bersyukur karena inisiatif ini bukan hanya memperkenalkan kembali aksara daerah kepada generasi muda, tetapi juga membuka kesadaran masyarakat bahwa perpustakaan memiliki fungsi lebih dari sekadar menyimpan koleksi. Ia berharap masyarakat akan semakin menghargai kekayaan budaya lokal, termasuk aksara yang mencerminkan keragaman suku dan bahasa di Indonesia.
“Dan saya senang karena perpustakaan bukan hanya menyimpan koleksinya tapi juga dibagikan kepada orang-orang,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia berharap aksara Nusantara bisa lebih menarik perhatian generasi muda dibandingkan aksara asing seperti Korea dan Jepang. Ia menekankan bahwa aksara lokal memiliki nilai estetika dan historis yang kuat, yang jika dipelajari, dapat menjadi jendela untuk memahami masa lalu bangsa.
“Dan baik secara estetis bagus membuka akses ke masa lalu. Jadi saya kira lama kelamaan masyarakat jadi memiliki akses nih ke warisan masa lalu leluhur kita,” pungkasnya. []
Redaksi11