PARLEMENTARIA KOTA SAMARINDA – Mimpi Wali Kota Samarinda menjadikan Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) ini menjadi zona bebas tambang pada tahun 2026 mendapatkan dukungan dari wakil rakyat. Salah seorangnya adalah Wakil Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda Samri Shaputra.
Hal tersebut disampaikan Samri, sapaan akrab politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini saat ditemui para pewarta di ruang kerjanya Lantai 4 DPRD Kota Samarinda, jalan Basuki Rahmat, Samarinda, Kamis (09/02/2023). Namun demikian, Samri menyebut, tambang batu bara tidak perlu benar-benar disingkirkan dari Kota Samarinda, hanya perlu dilakukan penataan, misalnya lokasinya tidak dekat dengan permukiman.
“Apa yang disampaikan wali kota itu kita bisa menerima tapi tidak juga seratus persen artinya perlu juga tambang yang posisinya sudah tidak sesuai dengan aturan ditutup saja, misalkan dekat dengan pemukiman minimal 500 meter dari pemukiman tidak boleh tambang,” kata anggota dewan kelahiran Samarinda, 26 Oktober 1976.
Menurut Samri, posisi tambang yang berada di tengah hutan, dari sisi lingkungan tidak secara langsung berdampak dengan masyarakat, oleh karena itu eksistensinya tidak perlu dihapus. “Tambang di tengah hutan tidak secara langsung berdampak pada masyarakat dari sisi lingkungan. Itu perlu dipertimbangkan, misalkan masih dua kilo meter dari pemukiman, masih memiliki izin yang cukup panjang, tenaga kerja yang diserap banyak, itu perlu dipertimbangkan,” terang Samri.
“Kalau tambang ilegal kita setuju untuk ditutup, tapi kalau tambang-tambang yang resmi menyerap tenaga kerja ratusan bahkan ribuan, perlu dipikirkan juga terutama, misalnya di daerah Bantuas yang posisi tambangnya itu jauh dari pemukiman, barang kali bisa dipertimbangkan. Jangan semua mau ditutup karena menyerap tenaga kerja tidak sedikit juga, ke mana lagi mereka akan mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-hari,” tuturnya.
Menurut Samri, Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kota Samarinda ini, kawasan tambang di Samarinda sebaiknya cukup dipersempit, yang berdampak langsung dengan masyarakat dibersihkan. “Yang masih aman masih jauh di tengah hutan, biarkan dulu, dihabiskan batunya dan direklamasi. Nanti diubah statusnya, misalnya menjadi pemukiman. Kalau batunya masih banyak kemudian statusnya berubah jadi pemukiman akan berbahaya ditinggali, menimbulkan risiko.” pungkasnya. []
Penulis: Guntur Riyadi | Penyunting: Hadi Purnomo