JAKARTA – Sejumlah calon jemaah haji asal Indonesia yang mendaftar melalui jalur mujamalah atau lebih dikenal dengan haji furada dipastikan gagal berangkat ke Tanah Suci setelah otoritas Arab Saudi menutup proses penerbitan visa. Informasi yang sebelumnya beredar menyebutkan visa haji mujamalah masih mungkin diterbitkan hingga Minggu (01/06/2025), namun hingga batas waktu tersebut, tidak ada visa yang dikeluarkan.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama, Hilman Latief, mengonfirmasi bahwa proses pemvisaan haji, termasuk furada, telah resmi ditutup sejak Senin (26/05/2025) pukul 13.50 waktu Arab Saudi. Pemerintah Indonesia, menurut Hilman, belum mendapatkan informasi tambahan dari otoritas Saudi mengenai peluang penerbitan visa setelah tanggal tersebut.
Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan bahwa kewenangan penerbitan visa mujamalah sepenuhnya berada di tangan pemerintah Arab Saudi. Ia menyatakan bahwa pihaknya telah menjalin komunikasi intensif dengan otoritas Saudi, namun belum berhasil memperoleh solusi.
Salah seorang calon jemaah haji, Nurita Indiyastuti atau Rita, perempuan 55 tahun asal Solo, menyatakan kesedihan dan kekecewaannya setelah mengetahui visanya tak kunjung terbit. Ia yang telah menyiapkan segala keperluan haji, termasuk vaksinasi meningitis dan keberangkatan ke Jakarta, akhirnya harus kembali ke Solo dalam keadaan sakit dan kecewa. “Kami tahu ternyata 28 [Mei] malam bahwa semua visa furada tidak keluar. Jadi, saya benar-benar ambruk, di titik nadir, pada hari ulang tahun saya,” ucap Rita.
Rita merupakan satu dari ribuan calon jemaah yang memilih jalur furada karena dianggap lebih cepat dan tanpa antrean panjang. Uang untuk keberangkatan dikumpulkan selama lima tahun dalam bentuk tabungan dolar AS. Bersama rombongannya yang berjumlah sepuluh orang, ia telah menyerahkan biaya keberangkatan kepada biro perjalanan haji dan umrah yang kini menjanjikan penjadwalan ulang tahun depan.
Pemilik travel Sianok Indah Holiday, Khaidur Jumin, menjelaskan bahwa pihak biro biasanya menawarkan dua pilihan kepada jemaah yang gagal berangkat, yakni pengembalian uang dengan potongan biaya sebesar 10% atau penjadwalan ulang keberangkatan. Tahun ini, Khaidur sendiri tidak memberangkatkan jemaah furada dan hanya mengurus tiga orang jemaah haji khusus.
Kerugian juga dirasakan oleh Ketua Umum Sarikat Penyelenggara Haji dan Umrah (Sapuhi), Syam Resfiadi. Ia menyebut sebagian besar biro perjalanan haji mengalami kerugian besar karena tidak memperoleh kuota yang diharapkan. Patuna Travel, biro milik Syam, tidak mendapatkan kuota furada untuk tahun ini, sama seperti pada 2022. Ia menjelaskan bahwa biro biasanya memberi opsi refund penuh, pengalihan ke haji khusus di tahun-tahun mendatang, atau kombinasi dari keduanya.
Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj, menilai bahwa pemerintah perlu hadir lebih aktif dalam menata tata kelola haji furada. Ia menyatakan perlunya pengawasan ketat agar skema ini tidak dimanfaatkan untuk kepentingan sepihak dan menjadi ladang penipuan.
Penipuan berkedok haji furada bukan hal baru. Pada 2024, sebanyak 24 warga negara Indonesia ditahan di Arab Saudi karena menggunakan visa umrah untuk berhaji. Tahun sebelumnya, 46 warga ditipu oleh pelaku yang menawarkan haji tanpa antrean. Modus penipuan berulang kali terjadi, seperti yang terjadi di Gresik, Surabaya, Sidoarjo, dan Madiun, di mana korban kehilangan ratusan juta hingga miliaran rupiah tanpa pernah diberangkatkan.
Menurut Mustolih, faktor keamanan kawasan Timur Tengah dan dinamika geopolitik juga memengaruhi keputusan Arab Saudi dalam menerbitkan visa furada. Ia melihat kebijakan Arab Saudi mengarah pada restrukturisasi tata kelola haji sejalan dengan Visi 2030, yakni rencana diversifikasi ekonomi negara tersebut.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 mengatur bahwa pemberangkatan haji didasarkan pada kuota, yakni haji reguler dan haji khusus. Namun, jalur furada yang berada di luar kuota resmi tetap eksis sebagai bentuk undangan dari Kerajaan Arab Saudi. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia tidak memiliki kendali langsung atas jumlah visa mujamalah yang dikeluarkan.
Harga haji furada yang tinggi—berkisar antara US$20.000 hingga US$28.000 atau sekitar Rp324 juta sampai Rp462 juta—membuat skema ini menjadi peluang bisnis yang menggiurkan, sekaligus rentan disalahgunakan. Penawaran fasilitas premium dan keberangkatan cepat menjadi daya tarik, namun sering kali berujung pada kekecewaan ketika visa tidak kunjung keluar.
Untuk mencegah kejadian serupa, Syam Resfiadi mengusulkan adanya regulasi baru yang mencakup skema haji di luar kuota resmi, seperti haji cepat, agar dapat dimasukkan dalam kerangka hukum. Ia menyarankan agar dana yang disetor calon jemaah dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) demi menjaga akuntabilitas dan memberikan subsidi silang bagi jemaah haji reguler.
Mustolih turut mendukung adanya regulasi turunan khusus untuk mengatur pelaksanaan haji furada. Ia menilai hal ini penting agar perlindungan terhadap jemaah dan penyelenggara dapat ditingkatkan dan tidak lagi menimbulkan kerugian berkepanjangan.
Fenomena haji furada, dengan seluruh kelebihan dan kerentanannya, memerlukan perhatian serius dari pemerintah. Negara diminta hadir lebih aktif, tidak hanya sebagai fasilitator, tetapi juga sebagai pengatur dan pelindung bagi warganya yang ingin menjalankan ibadah di Tanah Suci. []
Redaksi11