Tarif 145% Guncang Industri Peralatan Rumah Tangga China

KUTAI KARTANEGARA – Pabrik peralatan rumah tangga di Foshan, China selatan, kini menyisakan ruang kosong menganga. Di lokasi yang biasanya dipenuhi suara las dan percikan api dari produksi air fryer berteknologi tinggi, kini hanya sunyi yang tersisa. Derek Wang, pemilik pabrik, mengatakan bahwa produk buatannya sempat menuai pujian dari pelanggan Amerika Serikat karena fitur canggih seperti kendali lewat ponsel serta kemampuan memanggang, memanggang kering, dan membakar.

Namun, sejak 2 April, saat tarif impor Amerika Serikat yang disebut “Hari Pembebasan” oleh mantan Presiden Donald Trump diberlakukan dan mencapai 145 persen untuk semua barang asal China, para pembeli Wang dari Amerika meminta agar produksi dihentikan. “Saya berusaha tetap tersenyum demi 40 pekerja saya, meski cemas,” ujar Wang.

Ketika kesepakatan untuk meredakan perang dagang mulai berlaku Rabu lalu, Wang mengatakan bahwa para kliennya dari AS kembali menghubunginya. Meski tarif tetap diberlakukan – 30 persen dari pihak AS dan 10 persen dari China – kesepakatan mengejutkan yang dicapai setelah negosiasi akhir pekan di Swiss memberi kelonggaran bagi pelaku usaha.

“Klien kami kini bersedia menanggung tarif, meski kami tetap harus bernegosiasi karena mereka meminta pengurangan biaya,” jelas Wang, yang pernah menempuh studi teknik di Delaware, AS. Ia mengaku menghabiskan sekitar 500.000 dolar AS untuk mendirikan perusahaannya. Ia menyamakan kondisi saat tarif tinggi diberlakukan seperti menyaksikan perceraian antara orang tua. “China dan AS adalah dua kekuatan ekonomi dan budaya terbesar di dunia. Perpisahan tiba-tiba ini bisa menciptakan dunia yang tak terbayangkan,” katanya. Meski begitu, ia yakin ada keberuntungan di balik kesulitan, karena kondisi ini mempercepat langkahnya untuk tidak terlalu bergantung pada pasar AS.

Pemerintah China, dalam posisi tawar dengan Washington, percaya bahwa mereka punya banyak pilihan. Salah satunya adalah mendorong perusahaan lokal untuk memperluas pasar ke Afrika, Amerika Selatan, dan Asia Tenggara. Banyak pelaku usaha di China yang menyampaikan hal serupa, yakni keinginan untuk mendiversifikasi pasar sebagai langkah jangka panjang menjauh dari ketergantungan pada Amerika Serikat.

Sementara itu, Presiden Trump mengklaim China mengalami pukulan berat. “Mereka menutup pabrik, menghadapi kerusuhan, dan mereka senang bisa mencapai kesepakatan dengan kami,” katanya. Namun, penilaian tersebut bisa jadi berlebihan. Sebab, China masih memimpin dalam industri kendaraan listrik dan panel surya, serta terus mengembangkan teknologi kecerdasan buatan. Meski demikian, dampak perang dagang tetap terasa di garis depan, terutama di distrik Shunde, yang dikenal sebagai ibu kota peralatan rumah tangga.

Pemandangan di Shunde menunjukkan kenyataan yang sulit. Para pekerja pabrik keluar rumah saat malam untuk bersantai di taman lokal. Di siang hari, mereka bekerja membungkus, mencetak, dan merakit berbagai peralatan dapur. Namun, agen ketenagakerjaan mengatakan bahwa banyak pabrik yang menghentikan perekrutan atau bahkan menutup lini produksi, terutama yang terkait ekspor ke AS. Beberapa pekerja memilih tidur di taman demi menghemat pengeluaran, sementara sebagian lain tinggal di hostel murah dengan tarif 20 yuan per malam — setara dengan satu jam gaji.

He Ke, pengusaha sofa dari Gongyuan Furniture, juga sempat menghentikan operasional karena tarif. Pabriknya yang dulu menempati empat lantai dan mempekerjakan 200 orang kini hanya menggunakan satu lantai dengan 40 karyawan. Ia masih memiliki beberapa pelanggan ternama, termasuk klaim bahwa Elon Musk menggunakan sofanya.

Setelah kesepakatan dagang dicapai, He memanggil kembali pekerjanya. “Kami langsung libur ketika tarif mencapai 50 persen. Begitu mencapai 145 persen, bisnis benar-benar tidak bisa jalan,” katanya. Ia mengamati perubahan besar di Foshan sejak memulai usaha pada 2013. Kini, warga lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang. “Dulu, kami tidak pikir panjang untuk membeli barang mahal. Sekarang kami harus berpikir dua kali,” ujarnya.

Meski tengah mengupayakan pasar baru di luar Amerika, He berharap kedua negara dapat mencapai kesepakatan permanen dalam 90 hari mendatang. “Saya hanya pebisnis kecil. Tapi saya percaya, jika ingin terus hidup berdampingan, mereka akan duduk bersama dan bicara baik-baik.”[]

Redaksi11

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
X