WASHINGTON – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru-baru ini mengumumkan penghentian pasokan obat-obatan dan bantuan medis untuk negara-negara yang menerima dukungan dari Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID).
Langkah ini berdampak pada pasokan obat untuk penyakit serius seperti HIV, malaria, tuberkulosis (TBC), serta pasokan medis penting bagi bayi baru lahir. Keputusan ini, yang diumumkan pada Selasa (28/01/2025), merupakan bagian dari pembekuan yang lebih luas terhadap bantuan dan pendanaan yang diberikan oleh pemerintah AS.
USAID sendiri memiliki peran besar dalam memberikan bantuan kepada negara-negara miskin di seluruh dunia, dengan fokus pada program-program pembangunan, ekonomi, dan kemanusiaan.
Sebagai agen yang telah lama terlibat dalam distribusi bantuan medis, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan mitra dan kontraktor yang bekerja sama dengan lembaga tersebut.
Menurut laporan Reuters, sejumlah kontraktor telah menerima pemberitahuan untuk segera menghentikan kegiatan mereka. Salah satu perusahaan yang terdampak adalah Chemonics, sebuah perusahaan konsultan ternama di AS yang telah lama bekerja sama dengan USAID dalam penyediaan obat-obatan untuk mengatasi berbagai penyakit.
Atul Gawande, mantan pejabat senior di USAID, menyatakan bahwa penghentian program ini adalah bencana besar.
“Bantuan obat-obatan telah menyelamatkan nyawa 20 juta orang yang hidup dengan HIV. Namun, hal itu berhenti hari ini,” ujarnya.
Gawande memperingatkan bahwa penghentian pengobatan ini akan meningkatkan risiko kesehatan yang lebih besar bagi pasien, dan dapat memperburuk penyebaran penyakit, khususnya HIV.
Menurutnya, ketidakteraturan dalam pengobatan dapat menyebabkan virus HIV berkembang lebih cepat dalam tubuh penderita, melemahkan sistem kekebalan tubuh, dan meningkatkan potensi penularan kepada orang lain.
Laporan dari The New York Times juga menunjukkan bahwa tanpa pengobatan yang tepat, virus HIV dapat dengan cepat memperburuk kondisi pasien dan berisiko menular ke bayi melalui ibu yang terinfeksi.
Diperkirakan, satu dari tiga wanita hamil yang tidak mendapatkan pengobatan bisa menularkan virus tersebut kepada bayinya. Tidak hanya itu, gangguan dalam program pengobatan ini berpotensi memicu munculnya strain baru virus yang resisten, yang bisa menyebar secara global dan menambah tantangan kesehatan dunia.
Sebuah penelitian memperkirakan bahwa jika program ini dihentikan, hingga 600.000 nyawa dapat hilang di Afrika Selatan dalam dekade mendatang akibat penghentian pasokan obat dan pengobatan.
Jirair Ratevosian, yang pernah menjabat sebagai kepala staf PEPFAR (Presidential Emergency Plan for AIDS Relief) pada pemerintahan Joe Biden, menilai kebijakan ini sebagai dampak domino yang berbahaya, di mana banyak nyawa yang bergantung pada kelangsungan program bantuan medis tersebut.
Tindakan penghentian pasokan obat-obatan ini semakin memicu ketegangan di kalangan komunitas internasional, yang mendesak pemerintah AS untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini. Ancaman krisis kesehatan global semakin nyata, dan langkah-langkah segera diperlukan untuk mencegah dampak buruk yang lebih luas. []
Redaksi03