YOGYAKARTA – Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Edy Meiyanto, telah mencuat ke permukaan, menimbulkan keresahan di kalangan civitas akademika. Sejumlah korban yang merupakan mahasiswa UGM mengungkapkan bahwa mereka belum menerima pendampingan psikologis untuk pemulihan trauma pasca insiden tersebut.
Dalam siaran pers yang diunggah pada Minggu (06/04/2025), UGM menegaskan komitmennya terhadap prinsip pengarusutamaan dan keadilan gender. Melalui Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS), universitas menyediakan layanan perlindungan, pemulihan, dan pemberdayaan bagi korban sesuai dengan kebutuhan individu. Namun, beberapa korban menyatakan bahwa pendampingan psikologis hanya diberikan selama proses pemeriksaan sebelum pemecatan pelaku dan tidak berlanjut setelahnya. Dua korban yang dihubungi pada Kamis, 10 April 2025, menyatakan bahwa mereka belum ditawari layanan pendampingan setelah pengumuman pemecatan Edy Meiyanto oleh rektorat.
Selain itu, korban berharap agar status Aparatur Sipil Negara (ASN) Edy dicabut sebagai bagian dari sanksi yang tegas. Mereka mendengar bahwa pelaku sedang mengurus pendaftaran untuk mengajar di kampus lain, sehingga pencabutan status ASN dianggap penting untuk mencegah pelaku mencari korban baru. Sekretaris Universitas UGM, Andi Sandi, menjelaskan bahwa tim pemeriksa disiplin kepegawaian telah dibentuk untuk menindaklanjuti kasus ini. Tim tersebut terdiri dari atasan Edy, yaitu dekan atau ketua departemen, direktorat sumber daya manusia, dan satuan pengawas internal. Hasil pemeriksaan tim akan disampaikan kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Kasus ini pertama kali terungkap pada tahun 2024, dengan dugaan bahwa perbuatan tersebut telah berlangsung sejak 2023. Laporan diterima oleh UGM pada tahun 2024, dan proses pemeriksaan dilakukan oleh Satgas PPKS. Edy Meiyanto telah dibebastugaskan dari tugas mengajar dan jabatannya sebagai Kepala Laboratorium Biokimia Pascasarjana serta Pusat Riset Kanker sejak pertengahan 2024. Tindakan yang dilakukan Edy diduga melanggar Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, yang dapat dikenakan sanksi sedang hingga berat, mulai dari skorsing hingga pemberhentian tetap.
UGM sebelumnya telah menunjukkan komitmen dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Pada 21 Agustus 2023, Satgas PPKS UGM menggelar sosialisasi mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Fakultas Farmasi. Selain itu, pada 11-12 Oktober 2024, fakultas tersebut menyelenggarakan workshop bertajuk “Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual serta Pertolongan Pertama Psikologi” untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan terkait isu tersebut di lingkungan kampus.
Namun, meskipun berbagai upaya telah dilakukan, kasus yang melibatkan Edy Meiyanto menunjukkan bahwa masih terdapat celah dalam implementasi kebijakan dan perlunya evaluasi lebih lanjut. Korban menuntut agar UGM tidak hanya fokus pada sanksi terhadap pelaku, tetapi juga memberikan perhatian serius terhadap pemulihan korban dan pencegahan kejadian serupa di masa mendatang. []
Redaksi03