PONTIANAK – Masalah kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis solar di Kalimantan Barat (Kalbar) masih menjadi sorotan serius. Kelangkaan ini berdampak langsung terhadap distribusi barang dan jasa, yang kemudian berimbas pada harga kebutuhan pokok di tangan konsumen.
“Setiap hari antrean truk di setiap SPBU sangat mengganggu pengguna jalan. BBM solar bersubsidi merupakan komoditas strategis yang diperuntukkan bagi kelompok masyarakat kurang beruntung dan sektor usaha tertentu, seperti nelayan, petani, serta angkutan umum. Pertamina ditugaskan untuk melakukan distribusi BBM subsidi ke seluruh pelosok negeri, termasuk Kalbar. Namun dalam pelaksanaannya, berbagai permasalahan muncul, terutama soal kelangkaan, antrean panjang, hingga dugaan penyelewengan distribusi BBM bersubsidi,” kata Tokoh Kalbar sekaligus Pengamat Kebijakan Daerah, Dr. Herman Hofi Munawar, Rabu (21/5).
Ia menilai, Depot Pertamina Kalbar merupakan titik krusial dalam rantai distribusi BBM subsidi dan seharusnya memiliki sistem pengendalian internal yang ketat untuk mencegah penyelewengan. Namun kenyataannya, kelangkaan solar bersubsidi telah berlangsung bertahun-tahun tanpa solusi yang jelas, yang menurutnya mencerminkan kegagalan dalam manajemen dan pengawasan distribusi.
Dr. Herman juga menyoroti tidak adanya transparansi data distribusi BBM subsidi di Kalbar. Ia menyatakan bahwa publik tidak memiliki akses terhadap informasi kuota harian atau mingguan yang disalurkan, sehingga pengawasan oleh masyarakat menjadi sulit dilakukan.
“Penyalahgunaan BBM bersubsidi sering kali bocor ke sektor industri atau spekulan melalui kerja sama ‘gelap’ antara oknum yang berwenang dan pemegang kebijakan. Kondisi ini diperparah oleh lemahnya, bahkan tidak adanya, kontrol dari hulu (depot) hingga hilir (SPBU),” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa kuota subsidi yang ditetapkan pemerintah pusat kerap tidak sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan karena basis data pengguna tidak diperbarui. Akibatnya, penyaluran menjadi tidak tepat sasaran dan cenderung disalahgunakan.
Menurut mantan legislator Partai Persatuan Pembangunan ini, lemahnya penegakan hukum juga memperparah kondisi. Banyak kasus dugaan penyalahgunaan distribusi BBM subsidi yang tidak tuntas atau berhenti di tahap penyelidikan tanpa kejelasan akuntabilitas institusional.
“Pertamina Kalbar seharusnya diaudit dan dipertanggungjawabkan. Setiap liter solar subsidi harusnya bisa dilacak melalui sistem informasi real time yang dapat diakses pemerintah daerah dan lembaga pengawas,” tegasnya.
Ia juga mendorong agar pemerintah daerah lebih proaktif dalam mengawasi distribusi BBM subsidi karena menyangkut langsung kepentingan masyarakat. “Pemerintah daerah harus memberikan laporan rutin dan terbuka kepada publik mengenai jumlah kuota yang diterima, disalurkan, serta penyebarannya di masing-masing kabupaten atau kota di Kalbar,” pungkas Dr. Herman. []
Redaksi11