SAMARINDA – Kasus korupsi kembali mencoreng wajah sektor pertambangan di Kalimantan Timur. Alih-alih menimbun lubang bekas tambang dengan tanah, sejumlah pihak justru membiarkannya terbuka lebar sambil diduga memainkan peran dalam dugaan penyelewengan dana jaminan reklamasi.
Direktur CV Arjuna berinisial IEE bersama AMR, mantan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kalimantan Timur periode 2010–2018, kini resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Timur. Penetapan IEE dilakukan lebih dahulu pada 15 Mei 2025. Saat itu, tim penyidik menjemputnya langsung dari Jakarta untuk menjalani proses pemeriksaan.
“Diamankan di Jakarta,” ungkap Kepala Seksi Penyidikan Pidsus Kejati Kaltim, Indra Rivani, yang saat itu didampingi oleh Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Kaltim, Toni Yuswanto, Senin (19/5).
“Sehari kami inapkan di Rutan Salemba. Setelah itu baru kami bawa ke Samarinda untuk ditahan di Rutan Kelas IIA Sempaja,” lanjutnya.
Sementara itu, AMR ditetapkan sebagai tersangka setelah menjalani pemeriksaan selama sekitar tiga jam pada Senin (19/5). Usai diperiksa, ia langsung menyusul IEE ke balik jeruji.
Kedua tersangka diduga terlibat dalam proses pencairan dana jaminan reklamasi (jamrek) milik CV Arjuna yang tidak mengikuti prosedur sebagaimana mestinya. CV Arjuna sendiri diketahui mengantongi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) atas lahan seluas 1.452 hektare di wilayah Makroman, Sambutan, yang berlaku hingga 6 September 2021.
Sesuai peraturan, perusahaan tambang diwajibkan menyusun rencana reklamasi dan menyetorkan dana jamrek dalam bentuk deposito dan bank garansi selama periode 2010 hingga 2016. Namun pada akhir 2016, Distamben justru mencairkan jamrek tersebut ke CV Arjuna, meski dokumen pendukung seperti laporan pelaksanaan reklamasi, pertimbangan teknis, penilaian, serta persetujuan kepala daerah tidak dipenuhi.
Di lapangan, tidak ditemukan upaya reklamasi. Bahkan, dana jaminan tidak disetorkan kembali dan bank garansi dibiarkan kedaluwarsa. Akibatnya, negara mengalami kerugian cukup besar. “Kerugian dari pencairan jamrek sebesar Rp13,1 miliar, belum termasuk Rp2,4 miliar dari bank garansi yang tidak diperpanjang,” jelas Indra.
Tak hanya kerugian finansial, kerusakan lingkungan yang dibiarkan tanpa pemulihan juga menimbulkan dampak signifikan. “Ada pula kerugian lingkungan yang rusak karena dibiarkan rusak tanpa reklamasi sebesar Rp58,5 miliar,” tutupnya.
Kini, proses hukum terus berjalan untuk menuntaskan perkara yang menyorot persoalan klasik dalam dunia tambang: ketika kewajiban pasca-tambang diabaikan demi keuntungan sesaat. []
Redaksi11