Sekda Kaltim Jawab Tuntutan Mahasiswa

SAMARINDA – Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) menunjukkan komitmen terhadap keterbukaan dan transparansi dalam tata kelola pemerintahan, dengan merespons langsung aksi unjuk rasa mahasiswa dari aliansi Gerakan Kalimantan Timur Melawan Diam. Aksi yang berlangsung pada Senin (10/6) tersebut menyoroti keterlambatan implementasi delapan program unggulan yang dijanjikan akan direalisasikan dalam 100 hari pertama masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Timur.

Aksi mahasiswa tersebut berlangsung damai dan mendapat perhatian serius dari Sekretaris Daerah Kaltim, Sri Wahyuni, yang hadir bersama jajaran perangkat daerah. Dalam kesempatan itu, Sri Wahyuni tidak hanya mendengarkan tuntutan mahasiswa, tetapi juga membuka ruang diskusi terbuka yang berlangsung hangat namun tetap kritis.

Dalam pernyataannya, Sri Wahyuni menjelaskan bahwa Pemprov Kaltim telah memulai pelaksanaan program “Gratis Pol” dengan pendekatan bertahap. Salah satu langkah awal yang telah dilakukan adalah penandatanganan nota kesepahaman (MoU) secara serentak di Convention Hall Sempaja, Samarinda, yang melibatkan berbagai mitra kerja. “Program kerja 100 hari tidak bisa serta merta langsung dieksekusi tanpa dasar hukum yang kuat. Semua program harus sesuai dengan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) yang wajib dilaporkan dan dievaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri,” jelasnya di hadapan mahasiswa.

Ia juga menambahkan bahwa pemerintah tidak ingin gegabah dalam mengeksekusi program hanya demi memenuhi target waktu, karena setiap kebijakan harus memiliki dasar hukum dan prosedur yang sesuai.

Sekda Sri Wahyuni juga memberikan edukasi konstitusional dalam forum tersebut, mengingatkan para mahasiswa bahwa pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota harus dipahami secara tepat. Beberapa tuntutan yang disampaikan dinilai perlu dikaji ulang agar tidak berbenturan dengan batasan kewenangan yang diatur dalam undang-undang. “Kami menyarankan mahasiswa agar melakukan kajian mendalam dan berdialog juga dengan pemerintah kabupaten/kota terkait isu lintas daerah. Sebab tidak semua tuntutan dapat dijawab langsung oleh pemerintah provinsi,” ujarnya.

Sri juga memperingatkan bahwa melanggar kewenangan administratif dapat berujung pada pelanggaran hukum. Oleh karena itu, setiap kebijakan atau program harus diproses secara legal, akuntabel, dan transparan.

Dalam orasinya, mahasiswa menyuarakan keprihatinan atas lambannya realisasi delapan program gratis yang menjadi janji kampanye pasangan kepala daerah terpilih. Mereka menuntut adanya transparansi terhadap progres program, terutama dalam sektor pendidikan, kesehatan, transportasi, dan pelayanan dasar lainnya yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat.

Meski tidak semua tuntutan dapat dijawab secara langsung, mahasiswa mengapresiasi kesediaan pemerintah untuk berdialog terbuka. Beberapa perwakilan mengungkapkan pentingnya menjaga komunikasi yang sehat antara pemuda sebagai elemen kontrol sosial dan pemerintah sebagai pengelola kebijakan publik.

Menutup dialog, Sri Wahyuni menegaskan bahwa pemerintah akan terus menjalin komunikasi dengan kelompok masyarakat, termasuk mahasiswa, untuk memastikan program-program strategis berjalan sesuai kebutuhan rakyat. “Kami terbuka terhadap kritik dan masukan. Tapi semua pihak harus bersama-sama menjaga agar perjuangan ini tetap dalam koridor hukum dan etika demokrasi,” tegasnya.

Langkah Pemprov Kaltim yang responsif terhadap aspirasi mahasiswa ini diharapkan dapat menjadi contoh penerapan prinsip good governance, di mana transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik menjadi pilar utama dalam pembangunan daerah (ADVERTORIAL).

Penulis: Rifky Irlika Akbar | Penulis: Rasidah S.M

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
X