KUTAI KARTANEGARA – Hujan deras yang mengguyur Sanga-Sanga Dalam, Kalimantan Timur, pada 12 Mei 2025, menyisakan dampak yang mengkhawatirkan. Di Blok 16, jalan utama yang menjadi akses vital bagi 6.000 warga mengalami retakan parah dan longsor. Lumpur serta bebatuan menutup jalur, memutus nadi transportasi masyarakat setempat.
PT Indomining, perusahaan tambang batubara yang beroperasi hanya sekitar 100 meter dari jalan tersebut, menjadi sorotan. Meski pihak perusahaan mengklaim bahwa jalan masih dapat dilalui, warga dan tokoh masyarakat menyampaikan keluhan berkepanjangan tentang kerusakan jalan yang mereka anggap sebagai konsekuensi dari aktivitas pertambangan di sekitar kawasan.
Keesokan harinya, 13 Mei, rombongan pejabat dari berbagai instansi meninjau lokasi kerusakan. Kepala Dinas ESDM Kalimantan Timur, Bambang Arwanto, hadir bersama Wiyono dari Dinas Pekerjaan Umum Kukar dan perwakilan dari Dinas Perhubungan. Tinjauan ini bukan sekadar penilaian teknis, tetapi juga menjadi simbol dari konflik yang telah lama mengendap antara masyarakat, pemerintah, dan pelaku industri.
Yesmarbanu, Head External Department PT Indomining, menyatakan bahwa longsor disebabkan oleh curah hujan ekstrem pada 11 dan 12 Mei, bukan akibat aktivitas tambang. “Jalan ini sebenarnya masih bisa dilewati,” ujarnya. Namun, bagi warga seperti Rahman, Ketua LPM Sanga-Sanga Dalam, pernyataan itu tidak membawa ketenangan. Ia menyoroti pemindahan jalan utama tiga tahun silam yang dilakukan atas dasar kebutuhan tambang, bukan kehendak warga.
Rahman juga mengenang anggaran Rp4 miliar yang digunakan untuk pengecoran jalan alternatif oleh Indomining saat itu. Sayangnya, kerusakan kembali terjadi. Jalan yang selama ini menjadi akses utama menuju pasar, sekolah, hingga PAUD, kembali tidak layak digunakan. Kondisi ini tidak hanya dirasakan oleh warga Sanga-Sanga Dalam, tetapi juga oleh ribuan penduduk Kelurahan Pendingin.
Rapat yang digelar pada 13 Mei menghasilkan kesepakatan resmi yang diteken lima pejabat dan perwakilan masyarakat. Dalam dokumen itu, PT Indomining diminta membangun jalan alternatif bagi kendaraan besar, memperkuat lereng dengan tanggul setinggi 10 hingga 20 meter, serta memverifikasi jarak tambang dari jalan umum yang semestinya minimal 500 meter. Selain itu, perusahaan juga diwajibkan memindahkan tiang listrik dan pipa PDAM yang terancam longsor.
Yesmarbanu menyampaikan bahwa pihaknya telah menindaklanjuti kesepakatan tersebut. “Pada 15 dan 16 Mei, jalan alternatif sudah bisa dilalui kendaraan besar,” katanya. Ia juga menyebutkan bahwa perusahaan tengah membangun tanggul dan menanam vegetasi dengan metode membrane hijau, seperti yang digunakan di Ibu Kota Nusantara.
Namun, kondisi jalan alternatif itu masih jauh dari ideal. Menurut Rahmat Hidayat, Lurah Pendingin, jalan tersebut sempit dan licin, menyulitkan kendaraan kecil apalagi truk. Ia menyebut ada dua SD, dua SMP, satu TK, dan satu PAUD di wilayahnya yang terdampak. Guru dan siswa harus melewati jalur yang rusak dan berlumpur, terutama saat hujan turun.
Rahmat menekankan bahwa akses jalan ini merupakan bagian dari kebutuhan dasar masyarakat, bukan sekadar infrastruktur. Dampaknya dirasakan oleh para pedagang, kurir, hingga warga biasa yang harus menempuh jarak lebih jauh untuk ke kota karena jalur alternatif yang disediakan tidak memadai.
Pemerintah daerah melalui Dinas PU Kukar berencana menyemenisasi 800 meter jalan menggunakan dana APBD. Namun, langkah ini memicu pertanyaan dari warga. “Kalau kerusakan karena tambang, kenapa rakyat yang harus menanggung biayanya?” ungkap Rahman. Ia mengusulkan agar perusahaan-perusahaan di sekitar membentuk konsorsium untuk berbagi tanggung jawab. Namun, respons yang diterima dinilai tidak memuaskan.
Keluhan lain datang dari kompensasi yang diberikan kepada warga, seperti uang bising dan uang debu sebesar Rp500 ribu bagi mereka yang tinggal dekat tambang. “Itu tak sebanding dengan dampaknya,” ujar Rahmat.
Pihak perusahaan menyatakan telah mematuhi peraturan. Yesmarbanu mengklaim bahwa laporan kegiatan rutin telah disampaikan ke dinas terkait. Perusahaan juga memperoleh peringkat biru dalam program PROPER dari Kementerian Lingkungan Hidup. “AMDAL dan kajian teknis sudah kami paparkan,” ucapnya.
Meski demikian, jarak antara tambang dan jalan yang hanya 100 meter masih menimbulkan perdebatan. Bambang Arwanto dari ESDM menyebut bahwa tidak ada pergerakan tanah signifikan berdasarkan monitoring geoteknik, dan menegaskan bahwa curah hujan tinggi menjadi penyebab utama longsor.
Jalan ini, tiga tahun lalu, pernah dipindahkan dari jalur lurus ke tanjakan curam atas permintaan perusahaan. Pengecoran dilakukan di musim hujan—keputusan yang kini dianggap keliru. Rahman menyebut jalan itu kini menjadi jalur utama kendaraan industri, meskipun standar jalannya masih seperti jalan kelurahan.
Rahman bahkan pernah kesulitan memasuki ruang rapat dengan pejabat provinsi untuk menyuarakan aspirasi warga. Ia kecewa karena perwakilan dari Pendingin tidak diundang. “Kami sudah sering demo, tapi jangan diabaikan. Kami ingin solusi adil,” tegasnya.
Kini, meski jalan alternatif sudah difungsikan, ketidakpastian masih menyelimuti. Rahmat Hidayat menegaskan bahwa tanggung jawab harus dijalankan sesuai kesepakatan. “Jalan ini sudah dihibahkan ke Pemkab, tapi tanggung jawab perbaikan harus jelas. Warga tak boleh terus jadi korban,” katanya.
Di tengah sisa lumpur dan debu yang belum mereda, suara warga Sanga-Sanga terus menggaung, menuntut kejelasan dan keadilan atas tanah yang mereka pijak. []
Redaksi11