4 Penambang Emas Tewas, DPRD Kalteng Desak Regulasi WPR

PALANGKA RAYA – Kejadian longsor yang terjadi di Desa Marapit, Kecamatan Kapuas Tengah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (Kalteng), yang merenggut nyawa empat pekerja tambang emas, mendapatkan perhatian luas, salah satunya dari Wakil Ketua Komisi II DPRD Kalteng, Bambang Irawan.

Bambang mengungkapkan pentingnya pembentukan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) serta penerapan standar keselamatan di pertambangan rakyat.

“Masalah ini harus menjadi perhatian kami, dan perlu segera dilaksanakan,” ujar Bambang setelah mengikuti rapat paripurna DPRD Kalteng, Senin (05/05/2025).

Setelah insiden longsor yang merenggut nyawa empat pekerja tambang emas tersebut, Bambang mengajak Pemerintah Provinsi Kalteng untuk menyediakan ruang bagi pertambangan rakyat.

Saat ini, Bambang melanjutkan, pihaknya sedang menyusun Peraturan Daerah (Perda) sebagai dasar hukum untuk kegiatan pertambangan rakyat. Perda tersebut nantinya akan mengatur wilayah khusus untuk pertambangan rakyat dan menetapkan standar keselamatan bagi para pekerja tambang emas.

“Perlu ada aturan khusus untuk WPR ini. Standar yang ada saat ini masih belum memadai. Oleh karena itu, hal ini perlu diatur, misalnya mengenai penggunaan alat berat. Selain itu, perhatian khusus juga perlu diberikan pada wilayah pertambangan agar memperhatikan keselamatan pekerja dan masyarakat sekitar,” jelas Bambang.

Peristiwa longsor yang menewaskan empat pekerja tambang emas tersebut terjadi sekitar pukul 14.30 WIB pada Selasa (29/04/2025). Keempat korban yang meninggal akibat tertimbun longsoran tanah adalah Yunedi (46), Gasi (48), Sarip (36), dan Padli (25).

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata, menilai kejadian ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan aparat penegak hukum, terutama jika pertambangan tersebut ilegal.

Sebagian besar masyarakat yang bekerja di pertambangan rakyat, baik yang legal maupun ilegal, terpaksa bekerja di sektor ini karena terbatasnya pilihan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

Menurut Bayu, kondisi ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan ekonomi yang berkelanjutan di daerah, khususnya di Kapuas, Gunung Mas, dan sebagian wilayah Barito.

Bayu menambahkan, tanah longsor merupakan salah satu dampak kerusakan lingkungan akibat pembukaan hutan atau deforestasi. Pertambangan menjadi salah satu penyumbang terbesar deforestasi, yang menempatkan Kalteng pada urutan ketiga dalam daftar deforestasi terbesar di Indonesia.

Meskipun sebagian besar aktivitas pertambangan dilakukan oleh perusahaan yang memiliki izin, seperti pertambangan batu bara dan mineral lainnya, Bayu menegaskan bahwa kegiatan pertambangan, terutama yang ilegal, kini meluas ke kawasan hutan, yang menimbulkan risiko besar terhadap kerusakan lingkungan dan degradasi lahan, yang akan semakin parah jika dilakukan secara masif.[]

Redaksi12

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com