Sisi Negatif Perjanjian Kawin Setelah Perkawinan Berdasarkan Putusan MK NO 69/PUU-XIII/2015

Oleh: NURSIAH, S.H., M.H.

Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945 Semarang

Abstrak

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah memberikan perubahan mendasar terhadap rezim hukum perjanjian perkawinan di Indonesia. Sebelumnya, Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membatasi pembuatan perjanjian kawin hanya dapat dilakukan sebelum perkawinan berlangsung. Namun setelah putusan Mahkamah Konstitusi, pasangan suami istri diberikan hak untuk membuat perjanjian kawin baik sebelum maupun setelah perkawinan dilangsungkan. Kendati demikian, ketentuan ini menimbulkan sejumlah implikasi negatif dari sisi hukum, sosial, dan psikologis. Artikel ini membahas sisi negatif tersebut melalui pendekatan yuridis normatif dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan doktrin hukum perdata Indonesia.

Kata Kunci: Perjanjian Kawin, Putusan Mahkamah Konstitusi, Pemisahan Harta, Risiko Hukum.

Pendahuluan

Perjanjian kawin merupakan kesepakatan antara calon suami dan calon istri mengenai akibat hukum dari perkawinan, terutama menyangkut status dan pengelolaan harta benda. Dalam sistem hukum Indonesia, perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 139 hingga 154 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, perjanjian kawin hanya dapat dibuat sebelum perkawinan dan harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Namun, melalui putusan tersebut, Mahkamah menegaskan bahwa perjanjian kawin dapat pula dibuat setelah perkawinan, sepanjang disahkan oleh notaris dan didaftarkan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Perluasan ini memberikan perlindungan hukum terhadap pasangan suami istri, tetapi di sisi lain menghadirkan sejumlah persoalan hukum dan sosial yang signifikan.

Pembahasan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 memberikan kebebasan bagi pasangan untuk membuat perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung. Kebebasan ini lahir dari pandangan bahwa pembatasan waktu pembuatan perjanjian kawin hanya sebelum perkawinan melanggar hak konstitusional warga negara untuk membuat perjanjian (Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 28G UUD 1945). Namun, secara yuridis dan sosiologis, ketentuan ini menyimpan sisi negatif yang perlu diwaspadai.

Pertama, dari sisi psikologis, pembuatan perjanjian kawin setelah perkawinan seringkali menimbulkan ketegangan dan ketidakpercayaan antara suami dan istri. Perjanjian semacam ini dapat dipersepsikan sebagai bentuk ketidakjujuran atau langkah sepihak untuk melindungi harta pribadi. Kondisi ini dapat memperburuk hubungan rumah tangga dan bahkan berujung pada perceraian.

Kedua, dari aspek hukum perdata, perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan hanya berlaku prospektif, yakni terhadap harta yang diperoleh setelah perjanjian disahkan. Hal ini berimplikasi bahwa harta bersama yang sudah terbentuk sebelumnya tetap berada dalam rezim harta bersama, kecuali dibuat perjanjian baru dengan perhitungan yang jelas. Keterbatasan ini sering menimbulkan kebingungan dalam praktik pembagian harta.

Ketiga, aspek administratif menjadi persoalan tersendiri. Agar perjanjian kawin mengikat pihak ketiga, perjanjian tersebut harus didaftarkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Banyak pasangan atau notaris lalai melakukan pendaftaran ini, sehingga perjanjian hanya mengikat antara suami dan istri dan tidak memiliki kekuatan terhadap pihak ketiga seperti kreditor atau pembeli. Akibatnya, perlindungan hukum menjadi lemah dan berpotensi menimbulkan sengketa di kemudian hari.

Keempat, dari perspektif etik dan moral, perjanjian kawin setelah perkawinan dapat disalahgunakan untuk menghindari tanggung jawab hukum. Sebagai contoh, seorang suami yang memiliki utang besar dapat membuat perjanjian pisah harta dengan istri untuk melindungi aset keluarga dari penyitaan. Tindakan demikian dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan hukum yang bertentangan dengan asas kejujuran dan itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.

Selain itu, tidak seragamnya pelaksanaan administrasi di berbagai daerah menyebabkan ketidakpastian hukum. Meskipun putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, implementasi di tingkat Dinas Dukcapil sering kali berbeda-beda, terutama terkait format pencatatan dan dasar dokumen yang diterima. Hal ini mengakibatkan perjanjian yang sah secara notarial belum tentu efektif secara administratif.

Kesimpulan

Perjanjian kawin setelah perkawinan merupakan kemajuan dalam perlindungan hukum atas kebebasan berkontrak pasangan suami istri. Namun, perlu diakui bahwa penerapannya masih menyimpan sisi negatif baik dari aspek hukum, sosial, maupun moral. Oleh karena itu, notaris sebagai pejabat umum memiliki tanggung jawab moral dan yuridis untuk memberikan penjelasan menyeluruh kepada para pihak sebelum perjanjian dibuat, guna mencegah penyalahgunaan dan memastikan keadilan substantif antara suami dan istri. Perlu harmonisasi antara hukum perdata, hukum administrasi, dan kebijakan teknis Dukcapil agar perjanjian kawin setelah perkawinan memiliki kekuatan hukum yang pasti dan adil.

Daftar Pustaka

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Pasal 29 UU Perkawinan.

Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Keluarga Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2002.

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com