SAMARINDA — Sore itu, Jalan Imam Bonjol kembali menjadi saksi bisu tragedi kelam yang mengguncang Kota Samarinda. Deretan kendaraan melambat saat barikade polisi menutup sebagian akses jalan. Di depan sebuah Tempat Hiburan Malam (THM), garis polisi membentang kaku. Polisi berseragam lengkap tampak sibuk mengatur jalannya rekonstruksi pembunuhan berencana yang menewaskan seorang pria berinisial DIP (35).
Rabu, 7 Mei 2025, Polresta Samarinda menggelar rekonstruksi kasus penembakan yang menewaskan DIP. Dalam proses ini, sembilan orang tersangka memperagakan 42 adegan berdarah yang menggambarkan secara rinci bagaimana aksi keji itu direncanakan dan dilaksanakan.
Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Hendri Umar, menyampaikan bahwa rekonstruksi ini sengaja dilakukan di tempat kejadian perkara (TKP) untuk memberi gambaran utuh kepada publik dan jaksa terkait skema tindak pidana yang terjadi.
“Siang ini kami sengaja melaksanakan rekonstruksi awal sebelum kami serahkan berkasnya ke Jaksa Penuntut Umum. Dengan pertimbangan perkara ini cukup menonjol dan menjadi perhatian publik, termasuk karena jumlah tersangkanya yang banyak,” ujarnya usai rekonstruksi.
Kesembilan tersangka, masing-masing berinisial FA, LA, UL, SG, SM, AR, WA, ED, dan sang eksekutor utama, Ijul, memperagakan peran mereka. Mulai dari perencanaan pembunuhan yang dilakukan di THM Muse di Jalan Mulawarman, hingga saat eksekusi terjadi di depan THM Crown, Jalan Imam Bonjol.
Dalam salah satu adegan, tampak seorang tersangka yang berperan sebagai pengawas berjaga di luar THM, memastikan situasi aman sebelum sang eksekutor menembakkan senjata api ke arah korban. Polisi menyebut peran tiap tersangka teridentifikasi jelas, berdasarkan hasil pemeriksaan saksi dan pengakuan pelaku.
“Termasuk tadi, ada yang berperan sebagai pengawas, dia menunggu di depan THM, ada yang standby di mobil, dan lain-lain,” kata Hendri Umar.
Peristiwa berdarah ini rupanya telah direncanakan selama dua bulan. Dari hasil penyelidikan, diketahui bahwa eksekusi dilakukan dengan penuh kalkulasi dan koordinasi. Fakta ini menjadi pertimbangan kuat bagi polisi untuk mempercepat penyusunan berkas perkara.
“Setelah berkas perkaranya dianggap cukup, baru kami kirim ke JPU. Jadi memang pembunuhan ini tergambar sekali perencanaannya,” pungkas Hendri.
Pasca-rekonstruksi, para tersangka kembali digiring ke Mapolresta Samarinda untuk proses hukum lebih lanjut. Sementara masyarakat Samarinda masih diselimuti rasa ngeri, menyadari bahwa sebuah rencana pembunuhan bisa dilakukan sedingin itu—tepat di tengah kota, di hadapan keramaian, dan dalam senyap malam yang ternyata menyimpan nyawa sebagai taruhannya.[]
Redaksi12