KUTAI KARTANEGARA – Tujuh santri di bawah umur menjadi korban kekerasan seksual dan fisik yang diduga dilakukan seorang pengajar di lembaga pendidikan agama di Kutai Kartanegara (Kukar). Pelaku disebutkan pernah terlibat kasus serupa beberapa tahun silam, namun berhasil menghindari proses hukum.
Kuasa Hukum Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kaltim, Sudirman, menyatakan pola kejahatan pelaku kali ini mirip dengan kasus sebelumnya. Namun, jumlah korbannya lebih banyak dan disertai tindakan kekerasan fisik.
“Dulu hanya satu korban yang berani melapor, sehingga kasusnya tidak berlanjut. Kami sudah memperingatkan, jika tidak ada tindakan tegas, kejadian serupa akan terulang. Nyatanya, hal itu benar-benar terjadi,” ujarnya saat melaporkan kasus ini ke Kepolisian Resor (Polres) Kukar, Tenggarong, Senin (11/08/2025).
Berdasarkan kesaksian korban, pelaku kerap melakukan tindakan asusila berulang kali, terutama pada malam hari, baik di kamar pribadi maupun ruang belajar pesantren. Jika korban menolak, pelaku tak ragu memukul atau menginjak mereka. Salah satu korban bahkan diseret paksa saat menolak ajakan pelaku.
Kasus ini mulai terungkap setelah salah seorang korban mengalami depresi berat dan memutuskan meninggalkan pesantren. Pengakuannya kemudian memicu enam korban lain untuk berbicara. Keluarga korban lantas menghubungi TRC PPA untuk meminta pendampingan hukum.
Sudirman menekankan, kasus ini menunjukkan kegagalan penegakan hukum dalam melindungi anak-anak. “Seandainya pelaku diproses hukum sejak awal, mungkin korban-korban ini tidak akan mengalami penderitaan yang sama,” tegasnya.
Dalam laporan sebelumnya, kasus serupa tidak dapat dilanjutkan karena minimnya saksi. Namun, kali ini TRC PPA memastikan seluruh korban bersedia memberikan kesaksian, didukung bukti-bukti yang memperkuat penyidikan.
Awalnya, laporan diajukan ke Kepolisian Sektor (Polsek) setempat. Namun, karena jumlah korbannya cukup banyak, penanganan kasus dialihkan ke Polres Kukar.
TRC PPA saat ini juga memberikan pendampingan intensif kepada salah satu korban yang mengalami trauma berat, hingga tidak sanggup mendengar nama pesantren tersebut.
Ketujuh korban telah meninggalkan lembaga pendidikan itu. TRC PPA mendesak kepolisian bertindak cepat agar pelaku tidak memiliki kesempatan mengulangi kejahatannya.
“Kami memohon dukungan publik agar kasus ini diselesaikan tuntas. Jangan sampai ada lagi anak-anak menjadi korban karena pelaku dibiarkan bebas,” tandas Sudirman.[]
Penulis: Jemi Irlanda Haikal | Penyunting: M. Reza Danuarta
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan