PAPUA – Provinsi-provinsi di wilayah Papua kembali menjadi sorotan dalam forum Asia Pacific Leaders Malaria Alliance (APLMA) ke-9 yang digelar di Bali pada 16–17 Juni 2025. Pasalnya, hampir 90 persen kasus malaria nasional masih bersumber dari wilayah tersebut, menjadikannya sebagai pusat beban penyakit di Indonesia. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dan menuntut perhatian lintas sektor untuk mempercepat eliminasi penyakit menular tersebut.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, drg. Murti Utami, MPH, menyebut bahwa upaya pengendalian malaria tidak dapat hanya mengandalkan sektor kesehatan. Ia menekankan pentingnya peran aktif pemerintah daerah, aparat keamanan, serta dukungan dari mitra internasional. “Kita sudah progress. Namun, kita tetap menghadapi tantangan yang sangat besar. Karena untuk area Tanah Papua sendiri, kita belum bisa mendapatkan atau belum mencapai eliminasi,” kata Murti kepada awak media di sela forum APLMA, Senin (16/6/2025).
Ia menegaskan bahwa rendahnya komitmen dari sejumlah kepala daerah di Papua menjadi hambatan signifikan. Kementerian pun mendorong agar para gubernur membentuk forum koordinasi khusus untuk pengendalian malaria. “Bagaimana komitmen pemerintah daerah itu penting sekali. Makanya mereka nanti harus membuat forum, forum gubernur. Jadi mereka harus kolaborasi, karena itu kan (malaria) migrasi ke provinsi-provinsi lain,” ujarnya.
Hingga saat ini, sebanyak 407 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia telah mencapai eliminasi malaria. Namun, Papua masih tertinggal, dengan 90 persen kasus nasional berasal dari 14 kabupaten di wilayah tersebut. Cakupan deteksi dini juga masih di bawah 54 persen, jauh dari standar yang diharapkan. Murti menjelaskan bahwa pendekatan dalam penanganan malaria tidak hanya mengandalkan pengendalian vektor, tetapi juga skrining massal dan pengobatan. “Langkah intervensi yang dilakukan antara lain skrining massal, pengobatan, dan pengendalian vektor dengan melibatkan sektor lingkungan hidup. Kolaborasi dengan TNI-Polri pun digencarkan, mengingat medan geografis Papua yang menantang,” paparnya.
Kehadiran Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai penasihat khusus isu malaria di kawasan Asia Pasifik, menunjukkan keseriusan Indonesia dalam mendukung target eliminasi malaria pada 2030. CEO APLMA, Dr Shartak, menilai Indonesia sebagai representasi tantangan malaria secara utuh, dari daerah yang telah bebas hingga wilayah dengan kasus tertinggi. “Indonesia adalah negara yang mencerminkan seluruh spektrum eliminasi malaria, mulai dari wilayah yang telah sepenuhnya bebas malaria dan kini fokus pada pencegahan penularan ulang, hingga 90% kasus malaria nasional yang terkonsentrasi di 14 kabupaten di Papua,” katanya.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa tantangan malaria bukan sekadar teknis, melainkan memerlukan kemauan politik dan dukungan pendanaan yang kuat. “Ini bukan soal teknis, melainkan soal kemauan politik dan dukungan pendanaan serta teknis yang memadai. Bukan karena kita tidak punya solusi ilmiah, tapi karena kita belum menyelesaikan pekerjaan ini,” ujarnya.
Pertemuan ini turut mengundang dukungan dari lembaga internasional seperti Asian Development Bank (ADB) yang diharapkan dapat membuka ruang pendanaan tambahan, terutama bagi daerah dengan komitmen tinggi. Murti berharap kolaborasi ini mampu mendorong percepatan pengendalian di Papua. “Jadi mungkin ini salah satu juga yang akan kita bahas nanti dengan teman-teman donors (ADB) memberikan ruang untuk negara-negara yang memiliki komitmen untuk melimitasi,” ungkapnya.
Meski dihadapkan pada tantangan geografis dan rendahnya cakupan program, pemerintah optimistis Indonesia masih berada di jalur yang tepat menuju eliminasi malaria secara nasional. “Sebetulnya kita Indonesia on the track. Cuma akhirnya kita tinggal menyesuaikan sisa-sisa daerah-daerah yang memang tidak mudah secara geografis,” tutup Murti. []
Admin05