KHARTOUM – Situasi kemanusiaan di Darfur Utara kembali menjadi sorotan setelah kepala bantuan kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Tom Fletcher, melaporkan kondisi memilukan para pengungsi yang terus berdatangan ke Tawila. Dalam kunjungan lapangannya baru-baru ini, Fletcher menyebut bahwa penderitaan warga sipil yang melarikan diri dari kekerasan di El-Fasher telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan dan memperlihatkan dampak paling nyata dari konflik yang tidak kunjung mereda.
“Penderitaan di Tawila tak terbayangkan. Lebih dari separuh penyintas yang melarikan diri adalah anak-anak,” tulis Fletcher dalam unggahan di platform X pada Minggu, 16 November. Ia menggambarkan bagaimana keluarga-keluarga yang kehilangan tempat tinggal berjuang menempuh perjalanan panjang menuju kawasan yang dianggap lebih aman, namun tetap menghadapi kekurangan makanan, perlindungan, dan layanan kesehatan.
Dalam laporannya, ia menceritakan pertemuannya dengan seorang perempuan yang terluka parah namun tetap berjalan menuju kamp sambil menggendong anak temannya yang mengalami kelaparan. “Mereka bertanya kepada dunia apakah bantuan akan datang,” ujar Fletcher, dikutip dari Anadolu Agency, Senin, (17/11/2025).
Unggahan badan bantuan PBB di Facebook menyatakan bahwa Fletcher juga berbicara langsung dengan para perempuan yang melarikan diri dari El-Fasher hanya beberapa minggu sebelumnya. Ia menegaskan bahwa para pengungsi membawa cerita tentang kekerasan brutal yang mereka alami maupun saksikan. Menurutnya, “Dunia tidak melindungi mereka. Kita harus berbuat lebih baik.”
Kunjungan Fletcher tidak hanya dilakukan di Tawila. Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), ia juga mengunjungi El-Geneina di Darfur Barat serta Zalingei di Darfur Tengah untuk menilai kondisi bantuan di tiga titik pengungsian utama. Awal pekan ini, Fletcher terbang ke Port Sudan untuk bertemu Ketua Dewan Kedaulatan Transisi Sudan, Abdel Fattah al-Burhan, guna membahas percepatan akses kemanusiaan.
Data terbaru dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) menyebut jumlah pengungsi dari El-Fasher dan wilayah sekitarnya telah melampaui 99.000 orang sejak 26 Oktober. Lonjakan ini terjadi tak lama setelah Pasukan Dukungan Cepat (RSF) merebut El-Fasher, ibu kota Darfur Utara. Kelompok tersebut dituduh melakukan pembantaian setelah mengambil alih kota strategis tersebut.
RSF kini menguasai lima negara bagian Darfur dari total 18 negara bagian Sudan, sementara militer mempertahankan kendali di sebagian besar wilayah lainnya, termasuk Khartoum. Meskipun Darfur hanya mencakup seperlima luas negara, sebagian besar dari 50 juta penduduk Sudan tinggal di wilayah yang berada di bawah kendali militer.
Sejak konflik militer dan RSF pecah pada April 2023, setidaknya 40.000 orang tewas dan lebih dari 12 juta lainnya terpaksa mengungsi, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Situasi ini menempatkan Sudan sebagai salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia saat ini. []
Admin04
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan