JAKARTA – Kemunculan grup Facebook bernama Fantasi Sedarah baru-baru ini memicu kegemparan di tengah masyarakat Indonesia. Grup tersebut diketahui memuat konten menyimpang mengenai fantasi hubungan inses, mulai dari narasi pengalaman pribadi hingga unggahan foto dan video berbau seksual yang melibatkan anggota keluarga sendiri.
Salah satu unggahan yang menjadi sorotan publik adalah pengakuan seorang pria yang menyatakan telah melakukan pelecehan terhadap putrinya sendiri sejak sang anak berusia satu tahun. Saat ini, anak tersebut diketahui berusia empat setengah tahun. Unggahan itu menuai reaksi keras dari warganet yang mendesak agar pelaku serta ribuan anggota grup dijatuhi hukuman berat, termasuk kebiri hingga hukuman mati.
Hukuman kebiri di Indonesia sendiri telah diatur sejak 2016 sebagai bagian dari penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Meski demikian, penerapan hukuman ini masih memicu perdebatan di tengah masyarakat dan baru dilaksanakan pada dua kasus.
Berbeda dengan Indonesia, Inggris tidak menerapkan kebiri secara paksa kepada pelaku kejahatan seksual. Negara tersebut menawarkan program berbasis medis dan psikologis yang bersifat sukarela untuk menekan dorongan seksual, terutama bagi pelaku kekerasan seksual berulang atau berisiko tinggi.
Program ini disebut menarik perhatian sejumlah pelaku. Berdasarkan laporan The Guardian pada 2013 berjudul Chemical Castration: the Soft Option?, lebih dari seratus pelaku kejahatan seksual di Inggris secara sukarela mendaftar untuk menjalani kebiri kimia. Salah satu di antaranya adalah Barry, seorang pria dengan kecenderungan voyeurisme, yaitu dorongan seksual yang timbul dari mengamati orang lain tanpa izin.
Barry mengaku tidak pernah bisa berhenti memikirkan pakaian dalam perempuan yang ia lihat di jalan. Ia beberapa kali dipenjara, dengan masa tahanan hingga 12 tahun, akibat perilakunya tersebut. Setelah menjalani program perawatan pelaku kejahatan seksual (Sex Offender Treatment Program/SOTP), ia mulai menyadari bahwa voyeurisme merupakan pelanggaran atas privasi dan termasuk kejahatan seksual.
Namun, kesadaran saja tidak cukup menghentikan dorongan seksualnya. Baru setelah ia ditawari obat penekan libido oleh seorang dokter, dorongan tersebut benar-benar teredam. Barry menyatakan bahwa sejak mengonsumsi obat tersebut, ia tidak pernah lagi memiliki fantasi menyimpang.
Kebiri kimia, atau intervensi psikofarmakologis anti-libido, telah digunakan selama lebih dari lima dekade di berbagai negara. Metode ini menggunakan dua pendekatan utama. Untuk kasus dengan pikiran seksual obsesif, digunakan antidepresan golongan SSRI, seperti Prozac. Sementara itu, pendekatan yang lebih ekstrem melibatkan obat anti-androgen seperti leuprorelin, yang menurunkan kadar testosteron drastis hingga membuat pasien kehilangan kemampuan seksual.
Beberapa negara, seperti Polandia, Rusia, dan wilayah tertentu di Amerika Serikat, mewajibkan pengobatan ini bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Di sisi lain, negara-negara seperti Jerman, Prancis, Swedia, dan Denmark lebih menekankan pendekatan sukarela.
Penelitian di kawasan Skandinavia menunjukkan bahwa program ini mampu menurunkan tingkat residivisme pelaku kejahatan seksual dari 40% menjadi hanya 0–5%. Sejak 2007, Inggris dan Wales telah mulai melakukan uji coba program ini di penjara, dan sekitar seratus pelaku telah ikut serta secara sukarela.
Diskursus mengenai efektivitas dan etika kebiri kimia masih terus berlangsung. Namun demikian, meningkatnya kasus kejahatan seksual, termasuk di ranah digital seperti yang terjadi dengan grup Fantasi Sedarah, mendorong urgensi penanganan yang tidak hanya tegas, tetapi juga menyentuh aspek rehabilitasi psikologis pelaku demi mencegah kekambuhan. []
Redaksi11
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan