JAKARTA — Isu pengibaran bendera Aceh kembali menjadi sorotan publik setelah polemik kepemilikan empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara mencuat beberapa waktu terakhir. Aksi damai yang digelar di halaman Kantor Gubernur Aceh turut memperlihatkan pengibaran bendera bulan bintang, yang menjadi simbol kontroversial dalam konteks otonomi daerah tersebut.
Bendera tersebut dikibarkan oleh massa aksi sebagai bentuk desakan kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk meninjau ulang Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) yang menyatakan empat pulau tersebut masuk wilayah Sumatera Utara. Namun, polemik tersebut kini telah diselesaikan setelah Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa pulau-pulau itu merupakan bagian dari Aceh, merujuk pada dokumen kesepakatan tahun 1992.
Menanggapi hal itu, Gubernur Aceh sekaligus mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Muzakir Manaf, menyebut legalitas pengibaran bendera Aceh kini tengah diproses dan berharap dapat segera memperoleh izin resmi. “Dalam proses, Insya Allah secepat mungkin,” kata Muzakir yang akrab disapa Mualem, di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (17/6).
Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haytar, turut menyampaikan harapan masyarakat Aceh agar pemerintah pusat segera mengesahkan bendera bulan bintang sebagai simbol resmi daerah. Menurutnya, aspirasi ini telah lama disuarakan rakyat Aceh. “Ya, bagi orang-orang Aceh itu diharapkan bahwa bendera itu disahkan. Kami menunggu saja,” ujarnya saat ditemui di kediaman Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI, Jusuf Kalla, di Jakarta.
Meski aspirasi itu kuat, hingga kini Kemendagri belum memberikan izin resmi untuk pengibaran bendera tersebut. Pengamat politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Titin Purwaningsih, menilai situasi ini tak lepas dari trauma sejarah konflik masa lalu antara Aceh dan pemerintah pusat. “Bendera sebagai simbol keistimewaan Aceh seharusnya tidak dianggap sebagai ancaman terhadap persatuan,” ujar Titin, Kamis (19/6). Ia menyebut relasi antara pemerintah pusat dan daerah yang belum sepenuhnya harmonis menjadi hambatan utama implementasi Qanun Nomor 3 Tahun 2013 yang mengatur soal bendera Aceh.
Pendapat serupa diungkapkan Direktur Eksekutif Center for Indonesian Governance and Development Policy, Cusdiawan. Menurutnya, pengibaran bendera Aceh merupakan bagian dari perjuangan politik rekognisi dan kultural masyarakat Aceh yang semestinya difasilitasi, bukan dihalangi.
“Kepastian pengibaran bendera justru bisa membuat masyarakat Aceh merasa dihargai sebagai bagian dari NKRI,” ujarnya, seraya menekankan pentingnya ruang dialog terbuka antara pemerintah pusat dan Aceh.
Namun demikian, pengamat politik Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya, menyoroti keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, yang melarang desain logo atau bendera daerah menyerupai simbol organisasi separatis. Ia menilai bendera bulan bintang memiliki kemiripan dengan bendera GAM, yang menjadi sumber friksi di internal Aceh sendiri. “Karena itu, simbol yang menyerupai lambang GAM sudah menyulut friksi, bahkan ada satu daerah di Aceh yang menyatakan akan memisahkan diri jika bendera itu disahkan,” kata Teuku.
Ia juga mengingatkan bahwa simbol bulan sabit dalam bendera tersebut tidak sepenuhnya merepresentasikan sejarah Aceh, melainkan lebih mencerminkan identitas gerakan politik tertentu.[]
Redaksi10
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan