MALINAU – Tanah longsor berskala besar kembali menerjang wilayah Sungai Bahau, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, di titik aliran sungai yang kini dikenal masyarakat sebagai Giram Baru. Bencana alam ini mengakibatkan timbunan material berupa batu-batu raksasa dan kayu-kayu besar menutupi sebagian badan sungai, menimbulkan kekhawatiran serius akan lumpuhnya jalur transportasi air. Jalur sungai ini merupakan arteri utama bagi masyarakat yang tinggal di dua kecamatan di sekitar wilayah terdampak.
Bupati Malinau, Wempi W. Mawa, menerima laporan kejadian pada 26 Juni dan segera bergerak cepat. Ia memimpin langsung tim gabungan yang terdiri dari unsur pemerintah daerah, TNI, Polri, serta masyarakat setempat untuk melakukan penanganan darurat di lokasi. Bupati Wempi mengungkapkan bahwa ini adalah kali ketiga longsor terjadi di titik yang sama, namun dampak kali ini jauh lebih luas dan mengkhawatirkan. “Material longsoran kali ini sangat besar. Batu-batu dengan estimasi berat 30 hingga 40 ton masuk ke batang sungai. Kayu-kayu besar juga menjorok ke dalam aliran air, sehingga sangat berbahaya dan menyulitkan manuver longboat,” jelas Bupati Wempi saat diwawancarai Radar Tarakan.
Laporan dari lapangan menunjukkan bahwa area yang terdampak longsor meluas hingga lebih dari 1 hektare. Material longsoran berasal dari titik yang berjarak sekitar 1 kilometer di atas aliran sungai utama. Akibatnya, terbentuklah genangan air baru dan arus sungai menjadi sangat tidak stabil. Kondisi ini secara drastis mengganggu transportasi sungai, terutama bagi longboat bermesin kecil yang kini tidak mungkin lagi melewati jalur tersebut.
Mengingat lokasi longsor berada di dalam kawasan hutan tanpa adanya akses jalan darat, upaya penanganan hanya bisa dilakukan secara manual. Alat berat tidak dapat masuk ke lokasi, sehingga seluruh pekerjaan normalisasi aliran sungai harus bergantung pada tenaga manusia. Tim bekerja keras menggunakan tali, gimblok, dan alat potong manual untuk menyingkirkan material. Bahkan, untuk menarik kayu-kayu besar yang terendam air, tim harus melakukan penyelaman dan pengikatan secara langsung, sebuah metode yang sangat berisiko tinggi terhadap keselamatan para pekerja. “Kalau salah memotong kayunya bisa jadi malapetaka. Karena arus deras dan posisi material sangat sulit dijangkau,” ujar Bupati Wempi, menggambarkan tingkat kesulitan dan bahaya yang dihadapi tim di lapangan.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan