SEOUL – Wabah kutu cinta (Plecia longiforceps) tengah menjadi perhatian serius di kawasan metropolitan Seoul. Serangga ini muncul dalam jumlah besar, menutupi jalanan, pepohonan, jendela rumah, bahkan memasuki ruang-ruang publik, memunculkan keresahan di tengah warga ibu kota Korea Selatan. Fenomena ini menimbulkan gangguan signifikan dalam aktivitas harian masyarakat dan menjadi isu lingkungan yang tak kunjung usai.
Kutu cinta, dinamai demikian karena kerap terlihat terbang berpasangan dalam proses kawin, mulai menarik perhatian luas setelah keberadaannya menyebar hampir ke seluruh sudut kota. Keberadaan mereka bukan hanya menciptakan ketidaknyamanan, melainkan juga mempermalukan otoritas lokal karena dianggap lamban dalam menanggapi situasi tersebut.
Serangga ini pertama kali ditemukan di Seoul pada 2015 dan diduga berasal dari Tiongkok bagian tenggara. Kendati pemanasan global kerap dikaitkan dengan pertumbuhan populasi serangga, Shin Seung-gwan, pakar biologi dari Universitas Nasional Seoul, menyatakan bahwa efek pulau panas perkotaan lebih mungkin menjadi penyebab utama. “Skala wabah tahun ini sangat tidak biasa dan perlu terus dipantau,” ujar Shin.
Meski tidak membahayakan secara langsung karena tidak menggigit atau membawa penyakit, kehadiran kutu cinta tetap dianggap mengganggu. Survei yang dilakukan lembaga Embrain menunjukkan bahwa 86 persen warga Seoul menganggap kutu cinta lebih menjengkelkan daripada kecoak maupun kutu busuk. Keluhan terus meningkat, tercermin dari lonjakan pengaduan yang diterima pemerintah, dari 4.418 laporan pada 2022 menjadi 9.926 pada 2024.
Beberapa warga bahkan terpaksa mengubah kebiasaan hidup mereka. Park (26), seorang pekerja kantoran, memutuskan pindah dari Distrik Eunpyeong karena merasa tak tahan hidup berdampingan dengan serangga tersebut. “Saya melihat serangga ini di mana-mana. Saya tidak bisa hidup seperti ini,” ucapnya. Keluhan senada juga diungkapkan Choi Min-seoul (28), yang menghentikan kebiasaan joging di Sungai Han. “Serangga itu menempel di tubuh saya, bahkan pernah tertelan. Akhirnya saya memilih berolahraga di dalam ruangan,” katanya.
Situasi ini turut menjadi bahan sindiran politik. Anggota parlemen oposisi Ahn Cheol-soo menyamakan kekacauan akibat kutu cinta dengan keputusan pemerintah yang menuai kontroversi terkait pengangkatan pejabat bermasalah.
Wacana untuk mengklasifikasikan kutu cinta sebagai hama sempat muncul pada 2024 agar dapat dilakukan penyemprotan kimia. Namun, rencana ini batal karena protes dari kelompok lingkungan yang mengkhawatirkan dampak negatif terhadap ekosistem dan kesehatan manusia.
Sebagai langkah alternatif, pemerintah meluncurkan kampanye edukatif melalui media. Dalam video dari Kementerian Kesehatan Korea, disampaikan bahwa kutu cinta memiliki peran ekologis seperti membantu penyerbukan dan mempercepat pengomposan tanah. “Kutu cinta bukanlah hama. Mereka membantu proses penyerbukan bunga dan pengomposan tanah secara alami. Pengendalian hama berlebihan justru dapat membahayakan lingkungan dan manusia,” demikian narasi video tersebut.
Walau belum ada solusi permanen, masyarakat berharap agar serangan kutu cinta ini segera mereda dan kehidupan kembali berjalan seperti biasa. Pemerintah pun terus memantau perkembangan situasi, sembari berupaya mencari langkah yang seimbang antara kenyamanan publik dan keberlanjutan lingkungan.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan