KOTABARU – Kehidupan nelayan di pesisir Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, tidak terlepas dari keberadaan para pendatang, khususnya yang berasal dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Kehadiran suku Bugis, Makassar, dan Mandar menjadi mayoritas di kawasan ini, sementara jumlah nelayan dari suku Banjar relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan tiga suku asal Sulawesi tersebut.
Asal-usul kedatangan para nelayan ini kerap dikaitkan dengan sejarah Kerajaan Kusan yang dulunya mencakup wilayah Kotabaru sebelum pemekaran wilayah pada tahun 2004. Seiring perjalanan waktu, kawasan pesisir seperti Desa Hilir, Desa Rampa, dan Desa Semayap yang berada tidak jauh dari pusat kota Kotabaru didominasi oleh masyarakat pendatang. Sebagian besar dari mereka merupakan generasi kedua atau ketiga dari para perantau Sulawesi yang lebih dulu menetap.
Salah satu kisah datang dari Daeng Henri, seorang nelayan yang berasal dari Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Ia menginjakkan kaki di Kotabaru pada tahun 1980 ketika masih berusia sekitar 16 tahun. Keputusan untuk merantau ke Kalimantan dipengaruhi oleh cerita dari kampung halamannya yang menyebut bahwa perantau akan hidup sejahtera di tanah orang.
Daeng Henri memulai perjalanannya sebagai anak buah kapal Pa’gae, sebuah kapal penangkap ikan yang berlayar jauh hingga ke Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Dalam salah satu pelayaran, ia singgah di Desa Hilir Muara, tidak jauh dari Siring Laut, jantung kota Kabupaten Kotabaru. Di sanalah ia menyadari bahwa masyarakat yang tinggal di daerah itu sebagian besar berasal dari Sulawesi dan telah hidup cukup mapan.
“Mungkin ini sudah yang kata orang di kampung kalau merantau pasti sukses,” pikirnya.
Terinspirasi dari kesuksesan perantau lain, ia memutuskan untuk berhenti dari kapal pertama tempatnya bekerja dan menerima tawaran menjadi juragan kapal dari seorang pemilik kapal yang ia kenal. Menjadi juragan bukan sekadar gelar, melainkan simbol keahlian dalam melaut, membaca arah, dan menaklukkan ombak.
Sejak saat itu, Daeng Henri selalu kembali ke Desa Hilir setelah melaut. Di tempat yang sama pula ia bertemu dengan perempuan keturunan Bugis asal Sulawesi Selatan, yang kemudian dinikahinya. Sejak itu ia menetap di Kotabaru dan kini telah memiliki cucu.
Kisah Daeng Henri hanyalah satu dari sekian banyak cerita nelayan perantau yang kini mengakar di pesisir Kotabaru. Meski tiap orang membawa cerita yang berbeda, namun benang merahnya tetap sama: tekad untuk mengubah nasib dan membangun kehidupan di tanah rantau.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan