NUNUKAN – PT Tunas Mandiri Lumbis (TML) merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang punya konsesi besar di wilayah perbatasan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara).
Perusahaan yang sahamnya didominasi pengusaha asal Malaysia ini kerap menjadi isu publik, di antaranya karena aktivitasnya yang dituding merugikan masyarkat setempat. Terbaru, PT TML kembali menjadi isu publik lantaran terjadinya konflik di internal perusahaan.
Ada aroma persaingan tidak sehat antara pengusaha lokal Nunukan dan pengusaha asal Malaysia yang mendominasi saham. Zainudin, pengusaha lokal yang sebelumnya duduk di posisi Direktur Utama tiba-tiba dikeluarkan dari jajaran direksi tanpa sepengetahuannya.
Kepada wartawan, Zainudin mengungkapkan, tanpa sepengetahuannya, Hong Yick Choon mewakili Magna Crystal Entity SDH BHD, perusahaan asal Malaysia yang memiliki 82 persen saham pada PT TML, diposisikan sebagai direktur utama yang baru.
Secara sepihak, kubu Hong Yick Choon menerbitkan empat akta sebagai persyaratan penerbitan Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing dari Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia. “Saya tidak dilibatkan sama sekali,” kata Zainuddin, Rabu (2/9/2015).
Ia menceritakan awal mula perseteruannya yang berujung pada pengaduan terhadap tiga karyawan warga negara Malaysia, ke Kantor Imigrasi Kelas II B Nunukan. Namanya dihilangkan dari daftar direksi. Dia hanya disebutkan sebagai pemegang saham. Sahamnya yang semula 18 persen diubah menjadi tinggal 6 persen.
“Saham saya saja dirampok. Uang saya tiga hari disimpan di bank langsung diambil. Saya juga heran,” katanya sambil menunjukkan rekening koran dari BNI Cabang Nunukan.
Sebagai perusahaan penanaman modal asing, Zainuddin juga mempertanyakan sikap Magna Crystal Entity SDH BHD yang tidak pernah melaksanakan ketentuan yang menjadi kesepakatan dengan TML yang dipimpinnya.
Misalnya saja, Magna Crystal Entity SDH BHD tidak merealisasikan pembayaran saham sebanyak 82 persen atau sekitar Rp41 miliar. Selain itu, perusahaan asal Malaysia tersebut tidak pernah merealisasikan penanaman modal sebesar Rp693 miliar.
“Tahap awal yang mencapai Rp150 miliar tidak pernah direalisasikan sejak 2008,” katanya.
Meskipun tidak pernah merealisasikan kesepakatan dimaksud, Magna Crystal Entity SDH BHD justru terus melaksanakan aktivitas di area produksi di Kecamatan Siemanggaris. “Mereka panen selama tiga tahun dan itu tidak ada sama sekali ke saya,” katanya.
Zainuddin mengatakan, karena aktivitas rivalnya itu, dia merugi hingga puluhan miliar rupiah. Selain tidak menerima gaji sebagai direktur utama, perkantoran, kendaraan, perkebunan dan semua fasilitas digunakan perusahaan asal Malaysia tersebut.
“Sekitar Rp86 miliar kerugian materil yang nyata. Belum lagi lahan yang tidak terbuka mencapai 13.000 hektare,” ujarnya.
Karena tidak terealisasinya kesepakatan itu, Zainuddin sampai sembilan kali bersurat kepada Magna Crystal Entity SDH BHD. Bahkan persoalan ini hingga tiga kali difasilitasi Pemerintah Kabupaten Nunukan dan tiga kali difasilitasi Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia. Hasil pertemuan selalu mentok.
Hingga akhirnya Zainuddin menempuh langkah hukum mengadukan persoalan ini ke Polres Nunukan.
Selain itu, dia juga mengajukan permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara terkait penerbitan Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing dari Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia.
Permohonan pada 2014 itu dimenangkan Zainuddin berdasarkan Keputusan PTUN Jakarta Nomor 43/G/2014/PTUN Jkt. Tanggal 17 Juli 2014.
Berdasarkan keputusan dimaksud, Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia, membatalkan Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing Nomor 1723/1/IP-PB/PMA/2013 tanggal 2 Desember 2013.
Dengan begitu, sejak 18 September 2014, jabatan direktur utama PT TML dikembalikan kepada Zainuddin mengacu pada akta sebelumnya.
Sementara pihak Hong Yick Choon belum dapat dikonfirmasi seputar isu konflik ini. Di kantornya yang disebutkan berada di Jalan Persemaian, Kelurahan Nunukan Tengah, Kecamatan Nunukan, tidak terlihat adanya aktivitas.
PEKERJA ILEGAL
Zainuddin, Rabu (2/9/2015) mendadak mengadukan tiga warga negara Malaysia ke Kantor Imigrasi Kelas II Nunukan. Aduan tersebut adalah buntut dari konflik yang terjadi di tubuh TML.
Sementara tiga orang yang dilaporkan tersebut adalah Hendry Steve Petrus, Aloysius dan Ahmad terkait izin tinggal di Indonesia. Ketiganya merupakan karyawan PT TML yang kegiatan produksinya berada di Kecamatan Siemanggaris, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Hong Yick Choon mewakili Magna Christal SDH BHD, perusahaan asal Malaysia yang memiliki 82 persen pada PT TML. Ketiga karyawan yang diadukan itu merupakan rekrutan Magna Christal SDH BHD.
Zainuddin yang datang dengan sejumlah pegawainya, rencananya hendak menemui Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Nunukan, I Nyoman Gede Surya Mataram.
Namun, hingga pukul 10.10, Nyoman tak kunjung menemui. Seorang staf Kantor Imigrasi Kelas II Nunukan yang menemui Zainuddin menyampaikan pesan, Nyoman belum bisa ditemui. Sebab disaat bersamaan dia akan menjemput Kepala Kejaksaan Negeri Nunukan yang baru.
“Kajari yang baru ini orang Bali. Karena kebetulan masih ada hubungan keluarga, beliau akan menjemput nanti,” kata staf dimaksud sambil berjanji akan menghubungi Zainuddin jika Nyoman telah bersedia untuk ditemui.
Zainuddin mengaku harus menemui Nyoman karena tiga kali pengaduan yang disampaikannya itu, hingga sekarang belum juga mendapatkan tanggapan.
Surat pengaduan telah dilayangkan pada 2011 lalu. Menyusul tahun 2014 dan terakhir pada 26 Agustus 2015. “Tidak ada sama sekali jawaban sampai sekarang,” katanya.
Disebutkannya, dari tiga warga negara Malaysia yang dilaporkan itu, hanya satu orang yang pernah diberikan visa tinggal pada 2009 lalu. Pada 2010, visa tinggal dimaksud sudah berakhir.
“Karena itu tahun 2011 kita layangkan surat ke Imigrasi. Karena kami tidak pernah mengusulkan perpanjangan visa tinggal, tetapi dia tetap keluar masuk Malaysia ke sini,” katanya.
Kalaupun nantinya diketahui ketiganya ternyata memiliki visa tinggal, Zainuddin justru mempertanyakan, siapa yang mengusulkan? Sebab sebagai direktur utama, dialah yang seharusnya mengusulkan pemberian visa tinggal dimaksud.
“Sebenarnya kami ke Imigrasi untuk meminta klarifikasi. Kalau dia memiliki visa tinggal, Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang mereka miliki, siapa yang jamin? Siapa pendampingnya? Sementara sebagai direktur utama, saya tidak pernah memberikan jaminan,” ujar pria yang memiliki 18 persen saham di PT TML ini. [] TBK