Reformasi Birokrasi Vietnam: Antara Efisiensi dan Duka Pengangguran Pejabat

HANOI – Vietnam sedang melakukan transformasi besar-besaran dalam struktur pemerintahannya, dengan rencana pemangkasan 100.000 posisi birokrasi demi meningkatkan efisiensi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Langkah radikal ini, yang diawasi langsung oleh pemimpin tertinggi Vietnam To Lam, telah memicu reaksi beragam di kalangan pegawai negeri yang terdampak. Sejak 30 Juni 2025, sekitar 80.000 jabatan telah dihapus seiring dengan penggabungan sejumlah provinsi dan kota.

Bagi sebagian pejabat, keputusan ini menjadi akhir pahit dari karier panjang mereka di pemerintahan. Nguyen Van Cuong, mantan pejabat Partai Komunis di Provinsi Bac Giang, termasuk salah satu yang memilih pensiun dini setelah 30 tahun mengabdi. Ia menerima kompensasi sebesar US$75.000 (Rp1,2 miliar) untuk sisa enam tahun masa kerjanya. “Sungguh sia-sia untuk kehilangan orang seperti saya. Namun saya tetap senang meski tidak memiliki pekerjaan,” ujarnya, seperti dikutip Straits Times (6/7/2025). Di usia 56 tahun, Cuong mengaku masih ingin berkontribusi, meski kini tanpa jabatan resmi.

Namun, tidak semua pejabat bisa menerima nasib mereka dengan lapang dada. Nguyen Thi Thu, mantan sekretaris tingkat distrik, merasakan kegelisahan setelah mengundurkan diri ketika kantornya dipindahkan ke Provinsi An Giang, lebih dari 70 kilometer dari rumahnya. “Saya mengundurkan diri, bukan karena saya ingin berhenti dari pekerjaan saya,” katanya. “Lebih baik mengundurkan diri daripada menunggu perintah pemecatan.” Thu, yang berusia 50 tahun, kini kebingungan mencari arah baru setelah kehilangan pekerjaan yang selama ini dianggap sebagai jaminan hidup.

Pemerintah Vietnam berargumen bahwa reformasi ini diperlukan untuk menciptakan birokrasi yang lebih gesit. Wakil Menteri Keuangan Vietnam menyatakan bahwa struktur baru akan memberikan “skala yang kuat untuk menghubungkan bisnis yang kuat dan infrastruktur ekonomi” serta mendorong “pembangunan sosial-ekonomi yang lebih besar.” Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Komunis To Lam menegaskan bahwa langkah ini adalah “tonggak sejarah dengan makna strategis” dalam perjalanan Vietnam menuju negara sosialis.

Di tengah upaya efisiensi ini, Vietnam tetap menghadapi tantangan ekonomi eksternal, termasuk ancaman tarif impor dari Amerika Serikat (AS) yang sempat mencapai 46% sebelum disepakati menjadi 20% pada 2 Juli 2025. Padahal, negara yang menjadi pusat manufaktur global ini mencatat pertumbuhan ekonomi 7,1% pada 2024 dan menargetkan 8% di 2025 untuk mencapai status negara berpendapatan menengah pada 2030.

Reformasi birokrasi ini mungkin akan memperkuat daya saing Vietnam dalam jangka panjang. Namun, bagi ribuan pegawai seperti Thu dan Cuong, dampaknya terasa sangat personal. Seperti kata Thu, “Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan selanjutnya.” Sementara Cuong tetap optimistis: “Saya masih dapat memberikan kontribusi lebih banyak kepada sektor negara.”

Kebijakan ini menjadi ujian bagi Vietnam—antara mengejar efisiensi nasional dan menjaga kesejahteraan para abdi negara yang terdampak.[]

Admin05

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com