Perampokan oleh WNI Guncang Jepang, Pemerintah Didesak Bertindak

TOKYO – Tiga Warga Negara Indonesia (WNI) ditangkap aparat Jepang akhir Juni lalu atas dugaan perampokan di Hokota, Prefektur Ibaraki. Insiden ini menambah daftar panjang kasus kejahatan yang melibatkan WNI di Negeri Sakura, memantik pertanyaan tentang akar persoalan di balik fenomena ini.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, Rolliansyah Sumirat, mengonfirmasi bahwa ketiga tersangka merupakan overstayer (pelampau batas izin tinggal) dan sedang mendapat pendampingan hukum. “Ketiga WNI telah didampingi pengacara dan KBRI Tokyo terus berkoordinasi dengan Kepolisian Mito, Kashima, dan Namegata di Prefektur Ibaraki,” jelas Rolliansyah, Jumat (4/7).

Kasus ini bukan yang pertama menghebohkan. Sebelumnya, video pemasangan bendera perguruan silat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) di jembatan Jepang viral di media sosial. PSHT mengklarifikasi kejadian tersebut terjadi pada 2022 dan berkomitmen menaati hukum setempat.

Dua WNI yang telah puluhan tahun menetap di Jepang memberikan perspektif berbeda. “Pemerintah harus sering melakukan komunikasi, sosialisasi, atau diskusi kepada orang-orang yang dianggap ketua komunitas di Jepang,” saran seorang WNI di Prefektur Mie.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan kompleksitas masalah ini tidak terlepas dari karakter diaspora Indonesia di Jepang yang mayoritas merupakan kenshusei (pemagang). “Di Jepang ini karena diaspora kita sebagian besar adalah kenshusei dengan beragam latar dan karakter orangnya,” papar peneliti tersebut.

Faktor pendorong utama adalah kebutuhan Jepang akan tenaga kerja asing. Sebagai negara dengan populasi aging terbesar di dunia (29,3% penduduk berusia di atas 65 tahun), Jepang membuka pintu lebar bagi pekerja migran melalui program Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) dan kenshusei.

Hingga Juni 2024, tercatat 87.000 WNI mengikuti program magang dan 44.000 lainnya sebagai pekerja berketerampilan khusus di 16 bidang industri. Namun, minimnya pembekalan budaya menjadi masalah mendasar.

“Yang diajarkan hanya prosedur formal, tapi perbedaan budaya kita dengan masyarakat Jepang tidak pernah diajarkan,” kritik Nawawi Asmat dari BRIN. Ia mencontohkan kebiasaan berisik di kereta atau menggunakan fasilitas publik secara tidak semestinya yang kerap menimbulkan gesekan.

Duta Besar RI untuk Jepang Heri Akhmadi mengakui pentingnya peningkatan kesadaran hukum. “Merampok itu kebodohan yang luar biasa. Memang menyedihkan, tapi harus diatasi,” tegasnya pada September 2023.

Di tengah tantangan tersebut, komunitas WNI di Jepang tumbuh dinamis. Thony Tasiron, WNI yang telah 18 tahun menetap di Prefektur Mie, bercerita tentang jejaring kuat antarWNI melalui kegiatan seperti badminton dan pengajian. “Alhamdulillah komunitas kita kuat,” ujar Komarudin, WNI asal Papua Barat yang tinggal di Jepang sejak 1998.

Paguyuban daerah menjadi tulang punggung komunitas, membantu pendatang baru beradaptasi. “Mereka bisa dapatkan kebutuhan dasar dari senior-senior mereka,” jelas Nawawi. Selain itu, perkawinan campur Indonesia-Jepang juga semakin umum, dengan banyak pasangan membagikan kisah mereka di media sosial.

Pemerintah didorong untuk lebih proaktif. “Harus ada pembimbingan bagi ketua komunitas bahwa kita tinggal di sini harus berlaku baik,” usul Komarudin. Edukasi budaya dan hukum dinilai krusial untuk mencegah insiden serupa terulang, sekaligus memastikan hubungan baik kedua negara tetap terjaga.

Di balik berbagai tantangan, kehidupan WNI di Jepang tetap menjanjikan peluang. Seperti dikatakan Thony: “Rasanya aman dan nyaman. Akhirnya malah keterusan.” Namun, semua sepakat bahwa menyesuaikan diri dengan norma setempat adalah kunci keberhasilan.[]

Admin05

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com