JAKARTA – Di tengah naiknya biaya hidup dan tekanan ekonomi yang semakin membebani, masyarakat Indonesia mulai menunjukkan pergeseran signifikan dalam cara mengelola keuangan. Bukan hanya mengencangkan ikat pinggang, banyak yang kini berupaya mencari cara agar aset mereka tidak hanya aman, tetapi juga tumbuh. Salah satu pilihan yang kian dilirik adalah aset kripto, yang menawarkan potensi pertumbuhan nilai di luar instrumen konvensional.
Survei daring dari YouGov terhadap 2.067 responden dewasa di Indonesia mengungkapkan bahwa masyarakat semakin berhati-hati dalam mengambil keputusan keuangan. Minat terhadap instrumen non-tradisional meningkat, dengan emas tetap menjadi pilihan utama. Namun, lonjakan minat terhadap kripto terlihat jelas, terutama di kalangan muda yang lebih adaptif terhadap teknologi. Survei terpisah dari Consensys dan YouGov tahun 2024 terhadap 1.041 responden berusia 18 hingga 65 tahun bahkan mencatat peningkatan kepercayaan terhadap aset digital, sementara kepercayaan terhadap layanan keuangan tradisional cenderung menurun.
Perubahan ini tak lepas dari kesadaran kolektif bahwa bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi membutuhkan pendekatan baru. Chief Executive Officer (CEO) Tokocrypto, Calvin Kizana, menyebut tren ini sebagai bentuk reaksi masyarakat terhadap realitas ekonomi yang menantang.
“Kami melihat perubahan signifikan dalam mindset keuangan masyarakat. Di tengah tekanan biaya hidup, semakin banyak orang yang mulai mencari cara untuk mengembangkan aset, bukan hanya menyimpannya,” kata Calvin dalam keterangannya, Jumat (05/07/2025).
Ia menilai bahwa saat ini merupakan momentum penting untuk memperluas edukasi keuangan digital, agar masyarakat tidak hanya tertarik pada aset kripto karena tren, tetapi juga memahami fungsinya dalam strategi keuangan jangka panjang.
“Situasi ekonomi saat ini membuat masyarakat mencari alternatif yang bisa membantu mereka menjaga dan menumbuhkan nilai kekayaan. Aset digital seperti kripto menjadi salah satu opsi yang dipertimbangkan karena bisa diakses lebih luas dan menawarkan potensi pertumbuhan yang menarik,” ujarnya.
Peningkatan adopsi kripto juga memunculkan perdebatan baru, salah satunya mengenai apakah Bitcoin adalah permainan “zero-sum” – di mana keuntungan satu pihak selalu berarti kerugian pihak lain. Namun menurut Calvin, pemahaman tersebut keliru.
“Bitcoin bukan zero-sum game karena nilainya tidak hanya datang dari spekulasi, tapi dari kepercayaan, adopsi teknologi, dan fungsinya sebagai alternatif sistem keuangan,” tegasnya.
Ia menyebut sistem kripto sebagai positive-sum game, karena partisipasi banyak pihak—pengguna, pengembang, hingga institusi—mampu menciptakan nilai baru melalui inovasi dan kolaborasi.
“Dalam zero-sum, tidak ada penciptaan nilai. Tapi di kripto, ada inovasi, infrastruktur, edukasi, dan inklusi yang terus berkembang,” tambahnya.
Lebih jauh, Calvin menyoroti potensi dari ekosistem kripto untuk mendorong inklusi keuangan, memperluas pemahaman masyarakat tentang decentralized finance (DeFi), serta membuka jalan bagi penguatan literasi digital.
“Yang paling penting bukan hanya membeli kripto, tapi memahami prinsipnya. Kripto adalah tools. Kalau digunakan dengan benar dan bijak, ini bukan soal menang atau kalah, tapi soal menciptakan nilai baru,” tutup Calvin.
Di tengah tekanan ekonomi yang belum menunjukkan tanda mereda, adopsi kripto tampaknya bukan sekadar tren, melainkan bagian dari transformasi cara masyarakat membangun ketahanan finansial di era digital.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan