WASHINGTON DC – Ketika membicarakan perang dagang kontemporer, sorotan publik kerap tertuju pada Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump. Namun, penelusuran sejarah mengungkap fakta menarik bahwa praktik proteksionisme perdagangan telah ada jauh sebelum era modern, dengan pelaku utama yang mungkin tidak pernah terduga.
Kerajaan Inggris tercatat sebagai pionir sejati dalam menerapkan strategi perang dagang sistematis melalui kebijakan Navigation Acts yang diundangkan pada 1651. Langkah revolusioner ini menandai babak baru dalam sejarah perdagangan internasional, di mana negara mulai menggunakan regulasi sebagai senjata ekonomi untuk mengalahkan pesaing.
Latar belakang munculnya kebijakan ini tidak lepas dari dominasi Belanda yang begitu kuat di panggung perdagangan global abad ke-17. Republik Belanda saat itu menjelma menjadi kekuatan maritim terdepan dengan jaringan pelayaran yang membentang hingga ke Nusantara, menguasai jalur rempah-rempah yang sangat menguntungkan.
Menyaksikan supremasi ekonomi Belanda, Inggris merespons dengan menerbitkan regulasi yang sangat restriktif. Navigation Acts mengharuskan semua kapal yang memasuki wilayah Inggris dan koloni-koloninya dipimpin oleh nakhoda berkewarganegaraan Inggris. Aturan ini secara eksplisit melarang kapal asing, khususnya Belanda, untuk mengangkut komoditas perdagangan ke teritorial Inggris.
Sanksi yang ditetapkan pun tidak main-main. Pelanggaran terhadap regulasi ini akan berujung pada penyitaan kapal beserta seluruh muatannya oleh otoritas Inggris. Meskipun secara formal menargetkan semua kapal asing, praktik di lapangan menunjukkan bahwa Belanda menjadi sasaran utama dari kebijakan proteksionis ini.
Sebagaimana dikutip dari Capitalism and the Sea (2021), “Navigation Acts (1651) dirancang Inggris untuk melawan dominasi perdagangan Belanda.” Pernyataan ini menegaskan bahwa kebijakan tersebut memang sengaja dikonstruksi untuk menggerus kekuatan ekonomi Belanda di lautan.
Dampak dari kebijakan ini segera terasa. Menurut sumber Britannica, persaingan antara kedua negara maritim ini semakin intensif, dengan Belanda dan Inggris saling berupaya menguasai jalur-jalur perdagangan strategis. Banyak kapal Belanda yang beroperasi di perairan tersebut akhirnya ditangkap karena melanggar regulasi Navigation Acts.
Secara bertahap, kehadiran kapal-kapal Inggris mulai menggantikan posisi kapal Belanda di berbagai rute perdagangan. Namun, transisi ini tidak serta-merta mengubah hierarki kekuatan, karena Belanda masih mempertahankan pengaruh signifikan di beberapa sektor perdagangan global.
Eskalasi ketegangan akibat penyitaan kapal-kapal Belanda tidak dapat dihindari. Konflik ekonomi ini terus memanas hingga akhirnya meledak menjadi konfrontasi militer terbuka pada tahun 1652, yang kemudian dikenal dalam sejarah sebagai Perang Inggris-Belanda I atau Anglo-Dutch War. Peristiwa ini menjadi bukti nyata bagaimana rivalitas perdagangan dapat bermetamorfosis menjadi konflik bersenjata dengan skala yang sangat luas.
Fenomena ini memberikan perspektif historis yang penting untuk memahami dinamika proteksionisme di era kontemporer. Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Amerika Serikat terhadap China, Indonesia, dan berbagai negara lain dalam dekade terakhir memang menampilkan wajah baru dari proteksionisme global. Namun, akar sejarah praktik ini ternyata telah mengakar dalam selama berabad-abad, tepatnya sejak 374 tahun yang lalu ketika Inggris pertama kali menerapkan strategi perang dagang sistematis melawan Belanda.
Dengan demikian, narasi tentang Amerika Serikat sebagai pelopor perang dagang modern perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan konteks sejarah yang lebih komprehensif. Praktik proteksionisme perdagangan bukanlah fenomena baru, melainkan strategi yang telah berevolusi dari masa ke masa, dimulai dari era kolonial hingga globalisasi modern saat ini.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan