JAKARTA – Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKB, Zainul Munasichin, mengidentifikasi ketidaksesuaian kompetensi sumber daya manusia dengan kebutuhan pasar kerja sebagai faktor utama sulitnya masyarakat Indonesia mendapatkan pekerjaan. Kondisi ini terjadi meskipun tersedia banyak lowongan kerja di berbagai sektor.
“Jangan-jangan memang kita ini enggak siap SDM yang kompeten. Lowongan kerja banyak, tetapi enggak keserap karena standar SDM kita ini enggak kompeten untuk bisa mengisi lowongan itu,” ujar Zainul saat ditemui di kantor DPP PKB, Jakarta, Jumat 11 Juli 2025.
Data terbaru menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia pada tahun 2025 mencapai 7,28 juta orang atau sekitar 4,76 persen dari total angkatan kerja. Pengangguran didominasi lulusan pendidikan dasar hingga menengah, dengan 2,42 juta pengangguran berasal dari lulusan SD dan SMP, diikuti 2,03 juta lulusan SMA, dan 1,62 juta dari lulusan SMK. Lulusan perguruan tinggi juga tidak sedikit yang belum terserap pasar kerja, yakni 1,01 juta dari universitas dan 177 ribu dari jenjang diploma.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik per kuartal pertama tahun 2025, dari total 145,77 juta penduduk yang bekerja di Indonesia, mayoritas atau sekitar 56,57 persen bekerja di sektor informal. Sementara itu, hanya 38,67 persen yang tercatat bekerja di sektor formal.
Zainul menambahkan bahwa selain masalah kualitas SDM, kondisi iklim usaha di sektor hulu menjadi hambatan utama dalam penyerapan tenaga kerja. “Kalau sektor hulunya tidak sehat, maka sektor hilir—yakni tenaga kerja—tidak akan ikut berkembang. Iklim usaha yang buruk otomatis tidak mendorong penciptaan lapangan kerja yang berkualitas,” katanya.
Politisi PKB ini menyoroti pertumbuhan investasi Indonesia pada kuartal pertama 2025 yang mencapai Rp486 triliun. Namun, dari nilai investasi tersebut, jumlah tenaga kerja yang terserap hanya sekitar 600 ribu orang. “Kalau dihitung, berarti satu tenaga kerja membutuhkan Rp700 juta investasi. Angka itu terlalu tinggi. Artinya, investasi yang masuk sebagian besar adalah padat modal, bukan padat karya,” jelas Zainul.
Ia membandingkan efektivitas serapan tenaga kerja antara sektor. Pada sektor tambang, Rp1 triliun hanya mampu menyerap sekitar 5.000 pekerja. Sebaliknya, di sektor pertanian, jumlah investasi yang sama bisa membuka lapangan kerja bagi 150.000 orang. “Jadi sektor padat karya seperti pertanian justru lebih berdampak luas terhadap penyerapan tenaga kerja, tetapi sayangnya tak mendapat prioritas,” tambahnya.
Zainul juga menyoroti lambannya birokrasi dan tingginya biaya non-produktif yang harus ditanggung investor. “Kadang sudah padat karya, tapi karena birokrasi yang tidak mendukung, dana investasi malah bocor. Biaya tinggi terjadi bukan untuk produksi, tapi habis untuk mengurus izin, bahkan menghadapi ormas yang mengganggu,” ujarnya.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah pemutusan hubungan kerja di Indonesia telah mencapai 26.455 kasus per 20 Mei 2025. Provinsi Jawa Tengah mencatat angka PHK tertinggi dengan 10.695 kasus, disusul DKI Jakarta sebanyak 6.279 kasus, dan Riau dengan 3.570 kasus. Sektor yang paling terdampak meliputi industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, serta sektor jasa.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan