Anggaran Terowongan Selili Membengkak Rp133 Miliar Akibat Longsor

SAMARINDA – Proyek pembangunan Terowongan Selili kembali menjadi sorotan di Kota Samarinda. Namun kali ini bukan karena capaian konstruksi, melainkan karena lemahnya perencanaan teknis yang menyebabkan terjadinya longsor pada awal tahun 2025. Kondisi tersebut memicu pembengkakan anggaran yang signifikan hingga mencapai Rp133 miliar, dana yang hanya digunakan untuk menangani risiko yang seharusnya dapat diantisipasi sejak perencanaan awal.

Kritik tajam muncul saat Komisi III DPRD Kota Samarinda melakukan inspeksi mendadak ke lokasi proyek pada Senin (14/7/2025). Dalam kunjungan tersebut, ditemukan bahwa pelaksana proyek, PT PP, tidak melaksanakan kajian risiko teknis secara menyeluruh di tahap awal perencanaan. Kelalaian ini membuat potensi bencana seperti longsor dan kondisi darurat baru terdeteksi setelah proses pembangunan berlangsung.

Wakil Ketua Komisi III DPRD Kota Samarinda, Arif Kurniawan, menyampaikan kekecewaannya terhadap kinerja kontraktor pelaksana. “Kami sangat kecewa. PT PP sebagai BUMN besar di bidang infrastruktur ternyata tidak melakukan kajian komprehensif sejak awal. Masalah seperti accident & emergency (A&E) justru baru diketahui belakangan,” tegasnya.

Menurut Arif, lemahnya kajian geoteknik memperlihatkan ketidaksiapan kontraktor dalam memahami kondisi tanah dan risiko geologis di sekitar lokasi proyek. Ia menilai, hal ini bukan hanya berdampak pada struktur bangunan, tetapi juga dapat mengancam keselamatan masyarakat yang tinggal di sekitar terowongan. “Tambahan anggaran ini tentu membebani alokasi dana daerah yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan lain. Kami harap tidak ada lagi kejadian serupa ke depannya,” ujarnya.

Komisi III mendesak agar evaluasi menyeluruh dilakukan terhadap seluruh tahapan perencanaan, termasuk transparansi penggunaan dana publik. Arif menegaskan, proyek skala besar seperti ini wajib dijalankan dengan penuh kehati-hatian.

Menanggapi sorotan tersebut, perwakilan PT PP, Prasetyo Nur, menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan langkah-langkah penanganan. Salah satunya adalah memperpanjang struktur terowongan untuk memperkuat lereng yang rawan longsor. “Tujuannya adalah untuk meningkatkan daya dukung lereng. Proyek ini dimulai sejak akhir 2022, dan kami menargetkan perbaikannya rampung di akhir Desember 2025,” jelasnya.

Prasetyo menjelaskan bahwa penanganan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dianggarkan sebesar Rp39 miliar untuk pekerjaan regrading dan pemasangan struktur beton bertulang. Sedangkan tahap kedua, yang direncanakan untuk 2026, membutuhkan tambahan dana sekitar Rp94 miliar untuk penguatan lereng lebih lanjut, termasuk pemasangan ground anchor dan perbaikan drainase.

Ia mengungkapkan, tanda-tanda awal longsor mulai terlihat pada Februari 2025, berupa retakan di area mulut terowongan. Investigasi pun dilakukan bersama tim dari Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak Februari hingga Mei. “Jadi di bulan Februari ada muncul retakan-retakan. Kita sudah melakukan investigasi dari bulan Februari. Investigasi dari tim ITB dari bulan Februari ke bulan Mei. Kita ambil isi tanah lagi, kita mengambil hal-hal yang diperlukan lagi, kemudian kita merencanakan desainnya dari bulan Juni sampai sekarang bulan Juli. Jadi untuk desainnya itu dari bulan Mei, Juni, dan bulan Juli ini kami tinggal paparkan desainnya ke Pemerintah Kota untuk tindak lanjutnya ke depan,” terangnya.

Kini, desain penanganan teknis dari hasil investigasi tersebut masih menunggu persetujuan dari Pemerintah Kota Samarinda. Meski upaya penanganan telah dilakukan, publik tetap menyoroti buruknya perencanaan awal proyek, yang dinilai menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan dan pemborosan anggaran.[]

Admin05

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com