KUTAI TIMUR – Keberadaan sebuah kafe berbentuk kapal yang berdiri di bibir Pantai Teluk Lingga, Kecamatan Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur, menjadi sorotan lantaran diduga tidak memiliki izin resmi dari pemerintah daerah. Kafe yang menarik perhatian masyarakat karena bentuknya yang unik itu kini menjadi perbincangan hangat, terutama setelah muncul dugaan bahwa pembangunannya dilakukan tanpa melalui prosedur perizinan yang sah.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kutai Timur, Darsafani, membenarkan bahwa pihaknya belum menerima pengajuan izin terkait pembangunan kafe tersebut. “Jadi kalau proses perizinan masuk, pasti kami tahu. Tapi sampai sekarang belum ada. Itu. Jadi saya enggak bisa ngomong apa-apa,” ungkap Darsafani pada Selasa (16/07/2025).
Pernyataan senada disampaikan Kepala Dusun Pantai Teluk Lingga, Kasman. Ia mengaku tidak mengetahui adanya permohonan izin dari pihak mana pun untuk mendirikan kafe di wilayahnya. “Pokoknya tanpa sepengetahuan kita, tidak ada izin. Kami tidak punya hak untuk melarang. Jadi seakan-akan biarpun ada di sana, kami tidak dilibatkan,” jelas Kasman.
Lebih lanjut, Kasman mengatakan bahwa kafe tersebut diduga milik seorang pejabat daerah yang sedang menjabat saat ini. “Informasi itu punyanya pejabat yang sedang berkuasa saat ini di Kutai Timur, kalau enggak salah,” ujarnya. Ia juga mengungkap adanya aktivitas penebangan pohon mangrove di sekitar lokasi pembangunan, yang memicu kekhawatiran masyarakat setempat.
“Kalau mangrove kita sudah tahu kalau itu mangrove. Makanya mungkin mereka tidak mau surat-menyurat karena tidak resmi, jika ada permasalahan, bisa dibongkar,” tambahnya. Penebangan mangrove secara ilegal merupakan tindakan yang dilarang karena berdampak besar pada kelestarian lingkungan pesisir.
Sebagai informasi, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014, dengan tegas melarang pengrusakan ekosistem mangrove tanpa izin. Pasal-pasal dalam peraturan ini memberikan sanksi administratif berupa peringatan, penghentian kegiatan, hingga pencabutan izin, bahkan kewajiban memulihkan fungsi lingkungan.
Lebih jauh lagi, pelanggaran yang menyebabkan kerusakan lingkungan dapat dikenai sanksi pidana. Berdasarkan Pasal 75, pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar. Ketentuan ini berlaku baik untuk perorangan maupun badan usaha, dan sanksi dapat diperberat apabila pelaku adalah korporasi.
Tim Kaltim Post yang mencoba menelusuri keberadaan pengelola kafe dengan mendatangi lokasi pada Senin (14/07/2025), tidak berhasil menemukan pihak yang dapat dimintai keterangan. Di lokasi hanya terlihat papan bertuliskan “sedang dalam perbaikan”, sementara aktivitas di sekitar bangunan tampak sepi.
Situasi ini menambah keprihatinan masyarakat atas potensi pelanggaran aturan lingkungan di kawasan pesisir yang seharusnya dilindungi. Warga berharap agar pemerintah segera mengambil langkah tegas untuk memastikan pembangunan dilakukan sesuai regulasi yang berlaku.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan